Ada sesuatu yang magis tentang awal tahun baru. Hari-hari pertama Januari membawa harapan dan kebiasaan baru, tetapi juga kesempatan untuk merenung dan menikmati momen yang tak selalu kita rencanakan. Itulah yang saya rasakan pada 1 Januari 2025. Setelah semalam merayakan pergantian tahun dengan kembang api dan hiruk pikuk, pagi berikutnya membawa keinginan sederhana, melarikan diri dari hiruk-pikuk kota dan mencari ketenangan. Lembang, dengan udara dinginnya yang khas dan pemandangan asri pegunungannya, menjadi tujuan pertama dalam perjalanan saya.
Saat menyusuri Jalan Tangkuban Perahu, ada hal yang membuat kawasan ini begitu hidup---warung-warung kecil yang berjejer di tepi jalan. Meski sederhana, warung-warung ini menjadi jantung pengalaman kuliner di Lembang. Aroma makanan yang khas langsung menggugah selera siapa saja yang melintas.
Langit pagi itu berwarna abu-abu, seolah-olah masih belum memutuskan apakah akan menyambut matahari atau tetap bertahan dalam kesendirian mendung. Namun, dinginnya udara Lembang sudah cukup untuk menyegarkan pikiran. Perjalanan dari Bandung menuju Lembang terasa seperti membuka pintu ke dunia lain. Jalan-jalan mulai menanjak, dengan pepohonan hijau di kanan-kiri, dan sesekali aroma tanah basah menyelinap masuk melalui kaca jendela mobil.
Jalan Tangkuban Perahu menjadi perhentian pertama. Saya sudah sering mendengar cerita tentang warung-warung tradisional di sepanjang jalan ini, tempat di mana makanan sederhana bisa menjadi penghangat jiwa. Ketika akhirnya sampai di salah satu warung kecil di tepi jalan, saya langsung merasa seperti berada di rumah. Aroma jagung bakar, pisang goreng, dan susu jahe menyambut seperti seorang teman lama. Saya memesan semuanya tanpa ragu, memilih duduk di salah satu meja kayu kecil yang menghadap ke jalan. Warung tempat kami singgah, dengan atap seng dan bangku kayu seadanya, tampak bersahaja. Namun, keramahan pemiliknya membuat tempat ini terasa seperti rumah.
Sembari menunggu pesanan, saya mengamati sekeliling. Warung-warung di Jalan Tangkuban Perahu ini mungkin terlihat sederhana, namun setiap sudutnya memancarkan kehangatan. Para pedagang berbincang ramah dengan pelanggan mereka, beberapa bahkan bercanda seolah telah lama saling mengenal. "Udara dingin begini paling enak makan yang hangat-hangat, ya, Mbak," kata seorang ibu yang duduk di sebelah saya sambil tersenyum. Saya hanya mengangguk setuju, karena memang itulah yang saya rasakan.
Ketika pesanan akhirnya datang, saya langsung terpikat. Pisang goreng keju, dengan taburan parutan keju yang melimpah, menjadi pembuka sempurna. Rasa manis dari pisang yang matang berpadu dengan gurihnya keju menciptakan harmoni sederhana yang sulit dilupakan. Jagung bakar, dengan aroma smokey-nya, mengingatkan saya pada masa kecil ketika makan jagung bakar di halaman rumah. Dan akhirnya, segelas susu jahe yang hangat---minuman sederhana ini mengusir dingin dengan satu tegukan, meninggalkan rasa pedas manis yang memanjakan.
Namun, ada satu hal yang sedikit mengganggu pengalaman saya di sana, suara knalpot motor yang melintas. Jalan Tangkuban Perahu ternyata juga menjadi salah satu destinasi favorit para komunitas motor, yang sayangnya seringkali menggunakan knalpot bising. Suasana yang seharusnya hening dan menenangkan menjadi sedikit terusik oleh suara-suara itu. "Kalau bukan musim liburan, biasanya lebih tenang," ujar ibu pemilik warung tempat saya singgah. Ia tampak sedikit lelah, tetapi tetap tersenyum melayani pelanggannya.
Meski begitu, kebisingan itu tidak sepenuhnya merusak momen saya. Ada sesuatu yang tetap menenangkan tentang makan di warung kecil seperti ini, di tengah udara dingin Lembang. Setelah selesai makan, saya merasa segar dan siap melanjutkan perjalanan. Namun, alih-alih kembali ke Bandung, saya dan teman-teman memutuskan untuk mengambil jalan lain. "Ke Padalarang, yuk," usul salah satu teman. Ide itu terasa spontan, tetapi begitulah perjalanan terbaik sering kali dimulai---tanpa rencana.
Usai menikmati makanan dan suasana di Lembang, perjalanan kami berlanjut. Tujuan berikutnya adalah Kota Baru Parahyangan di Padalarang, sebuah kawasan yang menawarkan wajah modern yang sangat kontras dengan tradisionalnya Lembang.
Perjalanan menuju Kota Baru Parahyangan dari Lembang adalah pengalaman tersendiri. Jalanan yang mulus dan lebar menjadi kontras yang menyenangkan setelah beberapa jam di jalanan berliku Lembang. Jalan-jalan yang lebar dan mulus menggantikan jalan kecil dan menanjak di Lembang. Udara yang lebih hangat dan lingkungan yang teratur memberikan nuansa kota yang bersih dan modern. Jalan raya di kawasan ini terkenal dengan tata letaknya yang rapi, dihiasi dengan taman-taman kecil dan patung-patung artistik yang menjadi ciri khasnya
Sesekali kami membuka jendela mobil, membiarkan angin segar mengalir masuk, membawa serta aroma khas pegunungan yang sulit dijelaskan. Meski modern, kawasan ini tetap terasa dekat dengan alam, mungkin karena keberadaan danau buatan dan taman-taman kecil yang tersebar di berbagai sudutnya.
Ketika akhirnya sampai di sana, kami tidak memiliki tujuan tertentu. Kami hanya ingin menikmati suasana yang berbeda. Mobil kami melaju perlahan, melewati deretan rumah-rumah dengan desain arsitektur yang elegan, taman-taman yang rapi, dan jalan-jalan yang hampir bebas dari kemacetan. Ada ketenangan di tempat ini yang sulit ditemukan di Bandung atau bahkan Lembang sekalipun.
Setelah beberapa saat berkeliling tanpa tujuan, kami akhirnya berhenti di sebuah minimarket bernama Lawson. Lawson di Kota Baru Parahyangan terlihat berbeda dibandingkan minimarket lainnya, Lawson di Kota Baru Parahyangan menjadi tempat sempurna untuk melepas lelah. Dengan interior yang bersih dan terang, tempat ini terasa seperti perpaduan antara toko serba ada modern dan kedai kopi kecil. Di sini, kami memutuskan untuk membeli beberapa jajanan sembari beristirahat.
Pilihan jajanan yang berbeda dari biasanya ini memberikan pengalaman yang menarik, terutama karena kami tidak mengharapkan sesuatu yang 'spesial' dari sebuah minimarket. Saya memilih onigiri dan teh hijau dingin, sementara teman-teman saya mengambil berbagai jenis camilan, dari roti isi hingga pudding cup. Kami kemudian duduk di bangku yang tersedia di luar minimarket, menikmati makanan kami sambil bercengkrama. Momen ini sederhana, tetapi penuh makna. Setelah perjalanan panjang dari Lembang, duduk bersama teman-teman, berbicara tentang hal-hal ringan, dan tertawa tanpa beban terasa seperti cara terbaik untuk mengawali tahun baru.
Di area parkir minimarket, suasana terasa hidup dengan pengunjung yang sekadar duduk santai di tepi jalan, menikmati jajanan mereka. Beberapa pengendara motor yang mungkin baru saja sampai juga terlihat bercengkrama. Kota Baru Parahyangan memiliki semacam daya tarik unik meskipun terasa modern dan futuristik, atmosfernya tetap ramah dan nyaman untuk bersantai. Ada keheningan yang aneh di tempat ini. Tidak seperti di Lembang, di mana suara alam sering bercampur dengan kebisingan kendaraan, Kota Baru Parahyangan memiliki ritmenya sendiri. Sesekali, suara kendaraan melintas, tetapi tidak pernah mengganggu. Kami bahkan bisa mendengar gemerisik angin yang berhembus di antara pepohonan.
Sambil menikmati camilan, saya dan teman-teman berbincang tentang perjalanan hari itu. Ada sesuatu yang menyenangkan tentang menggabungkan dua pengalaman berbeda dalam satu hari---dari tradisionalnya warung di Lembang hingga modernitas yang elegan di Kota Baru Parahyangan. Kontras ini memberi kami perspektif tentang bagaimana Bandung dan sekitarnya berkembang dengan memadukan pesona alam dan budaya dengan kemajuan kota.
"Enak juga, ya, kalau tinggal di sini," kata salah satu teman saya. Semua orang mengangguk setuju. Kota Baru Parahyangan memang memiliki daya tarik unik. Modern, tetapi tetap terasa dekat dengan alam; tenang, tetapi tidak terasa sepi. Tempat ini adalah bukti bahwa perencanaan kota yang baik dapat menciptakan harmoni antara manusia dan lingkungannya.
Kota Baru Parahyangan sendiri bukan hanya kawasan perumahan biasa ini adalah proyek besar yang didesain sebagai kota mandiri dengan konsep yang memperhatikan keseimbangan lingkungan. Dengan berbagai fasilitas seperti sekolah, pusat perbelanjaan, dan taman, tempat ini menjadi simbol bagaimana modernitas bisa berjalan seiring dengan keberlanjutan lingkungan.
Perjalanan ini, meski spontan, menghubungkan dua dunia yang berbeda: kesederhanaan dan keramaian Lembang dengan modernitas dan ketenangan Kota Baru Parahyangan. Dua tempat ini memiliki karakter yang berbeda, tetapi keduanya memberikan pengalaman yang berharga.
Lembang, dengan udara dinginnya yang menggigit dan warung-warung tradisionalnya, mengingatkan kita pada pentingnya melambat dan menikmati hal-hal sederhana. Sementara itu, Kota Baru Parahyangan menunjukkan bagaimana sebuah kawasan modern tetap bisa menawarkan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar.
Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang saya kunjungi, tetapi juga tentang momen-momen kecil yang membuatnya istimewa: gigitan pertama pada pisang goreng keju, tegukan susu jahe hangat, tawa teman-teman di luar minimarket Lawson. Semua itu membentuk cerita yang akan terus saya ingat sebagai cara saya memulai tahun baru dengan cara yang sederhana tetapi bermakna.
Ketika jarum jam mendekati pukul 4 pagi, kami memutuskan untuk kembali ke Bandung. Kota Baru Parahyangan yang semula terasa ramai perlahan mulai sunyi, seolah memberi kami ruang untuk merefleksikan perjalanan hari itu. Suasana malam yang dingin menyelimuti perjalanan pulang, dengan lampu jalan yang temaram menjadi satu-satunya penerang di tengah pekatnya dini hari.
Dalam keheningan mobil, saya merenungkan pengalaman dari siang hingga malam---dari dinginnya Lembang yang berbalut suara gemuruh motor hingga modernitas Kota Baru Parahyangan yang tenang dan bersahaja. Dua tempat dengan karakter yang berbeda, namun memiliki daya tariknya masing-masing.
Lembang, dengan suasana tradisional dan keramahan warga, mengajarkan bahwa kesederhanaan tetap memiliki pesona yang tak lekang oleh waktu. Meski diwarnai kebisingan motor, pengalaman menikmati kuliner sederhana seperti jagung bakar dan pisang goreng tetap menjadi kenangan yang akan terus diingat.
Sementara itu, Kota Baru Parahyangan menunjukkan sisi lain dari Bandung---modern, teratur, dan nyaman. Meski hanya singgah sebentar, kehadiran tempat seperti Lawson dan tata kota yang rapi memberi perspektif baru tentang bagaimana keseimbangan antara lingkungan dan modernitas dapat tercipta.
Perjalanan ini, meski hanya satu hari, membawa lebih dari sekadar kenangan. Ini adalah pengingat bahwa setiap tempat memiliki ceritanya sendiri, menunggu untuk dijelajahi dan dihargai. Ketika mobil akhirnya memasuki jalanan Bandung, perasaan lelah bercampur dengan rasa syukur. Hari yang panjang telah berakhir, namun cerita dan pelajaran dari perjalanan ini akan terus membekas, mengingatkan bahwa setiap destinasi, tak peduli seberapa dekat atau jauh, selalu memiliki sesuatu untuk ditawarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H