Mohon tunggu...
Tore Simarmata
Tore Simarmata Mohon Tunggu... -

An ordinary person.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana: Membentuk "Publik Baru"

15 November 2010   06:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:36 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12898056231357544719

“Person of the year, You. Yes you, you control the information age. Welcome to your world”, demikian apresiasi majalah Time (25/12/2006) terhadap para netizen di dunia beberapa tahun yang lalu, atas kontribusi mereka pada berbagai aspek perubahan sosial.

Media baru memang telah mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, bahkan cara kita hidup. Dengan menyadarinya, kita dapat melihat potensi-potensi positif media ini bagi kemajuan masyarakat luas. Kekuatannya boleh jadi tidak sehebat media lain, tapi tidak ada yang sebebas, sedemokratis, semerata, secepat, dan semurah dia.

Kehebatan media baru telah diuji di tengah masyarakat kita lewat dukungan bagi Ibu Prita Mulyasari yang akhirnya menumbuhkan sebuah spirit nasional: “koin untuk Prita”.

Uji coba terbesar kedua bagi media baru di Indonesia adalah dalam kasus yang menimpa Bibit & Chandra dari KPK. Pada jumpa pers di Jakarta untuk menanggapi penyelesaian kasus yang dikenal dengan “Cicak vs Buaya” itu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono akhirnya menyatakan bahwa sebaiknya penyelesaian kasus tersebut dilakukan di luar pengadilan, karena melihat faktor sosiologis. [caption id="attachment_75349" align="alignright" width="193" caption="Communicate and share       (taken from www.lib.uct.ac.za)"][/caption]

Kalau diterjemahkan ke bahasa awam, faktor sosiologis berarti perhatian dan dukungan masyarakat secara masif lewat berbagai media, terutama media baru seperti: facebook, twitter, blog, e-mail, dan yang lainnya.

Walau demikian, kedua kasus tersebut bukanlah bukti terhebat. Yang paling awal dan terhebat adalah media baru memiliki peran besar dalam proses pergantian kekuasaan dari era sebelumnya ke reformasi di Indonesia (Hill dan Sen, 2005).

Ketiga kasus tersebut menegaskan bahwa media baru menjadi alat yang memudahkan masyarakat secara bersama-sama menyampaikan suara hatinya, berbagi tantangan hidup untuk memudahkan yang lain dalam menghadapinya, menunjukkan ketidaksetujuannya, serta disadari atau tidak menyatakan diri sebagai bagian dari sebuah kelompok baru, yaitu: publik baru.

Publik yang dimaksud di sini lebih mengacu pada konsep Habermasian, yaitu mereka yang sedang asyik memperbincangkan persoalan-persoalan masyarakat mereka. Mereka tidak memperdulikan asal-usul, latar belakang agama, status sosial, jenis kelamin, atau warna kulit yang satu dengan yang lainnya. Yang menyatukan mereka adalah tekad untuk berbagi dan memahami keberagaman demi mencapai kesepakatan lewat praktek berkomunikasi.

Kompasiana sangat tepat hadir bagi publik Indonesia untuk memperluas praktek berkomunikasi tersebut secara lebih kuat, atau meminjam istilah profesor dari Harvard University, Pippa Norris (2002) “to bridge and to bond the communities”.

Menjembatani (to bridge) berarti menyatukan sisi-sisi masyarakat Indonesia yang terpisah jauh oleh karena berbagai faktor, sehingga memiliki kesadaran sebagai bagian dari satu bangsa, atau memperkokoh apa yang disebut Benedict Anderson sebagai “the imagined communities”. Kekuatan ini perlu dipandang serius dengan menyadari masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk dan terpencar secara geografis.

Di tengah berbagai persoalan, terlebih yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas, kesadaran sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar membuat orang terdorong untuk menyatakan kehendak-kehendak bersama secara positif karena merasa dimampukan, merasa sepenanggungan, dan merasa didukung.

Kekuatan kedua, menguatkan (to bond) berarti mendekatkan hubungan yang pernah terjalin baik dalam satu kelompok masyarakat tertentu, maupun hubungan sosial yang baru terbentuk.

Dengan dua kekuatan tersebut, di tahap awal Kompasiana telah sukses menyatukan anggota masyarakat Indonesia dengan segala keberagamannya. Dari yang tua, muda, yang saling kenal hingga yang tak kenal sama sekali.

Berbagai isu, pengetahuan dan kepentingan dikomunikasikan, dipertukarkan, dan disebarluaskan. Yang menarik adalah tindakan tersebut dilakukan tidak dengan pertama-tama menayakan “Anda siapa?”, tetapi karena ada perasaan memiliki “identitas” yang sama, kesadaran sosial sebagai bagian dari sebuah komunitas.

Karakter ini berbeda dengan ruang publik Habermasian. Saat ini karakteristik ruang bagi publik tersebut bersifat inklusif, non-elitis, nondiskriminatif, empowering, egaliter, dan global. Dulu kita adalah pendengar pasif, sekarang kita adalah pelaku. Ruang publik post-Habermasian melahirkan publik baru. Publik sebagai pelaku-pelaku sadar yang terlibat.

Tentu agar publik baru dapat lebih berkontribusi secara mengakar dan dalam jangka panjang, ada beberapa kualitas yang perlu ditanamkan. Kualitas tersebut adalah: kejujuran (honesty), kebenaran (truth), keterbukaan (openness), dan penerimaan (tolerance) terhadap perbedaan pandangan (disagreement). Paradigma ini wajib dipegang, sebab jika tidak kekuatan teknologi sama dasyatnya jika digunakan untuk tujuan yang negatif. Kehadiran secara virtual dalam Kompasiana hendaknya menjadi bagian dari laboratorium penguatan karakter positif, intelek, dan kreatif, serta peduli, baik sebagai individu, anggota kelompok, maupun sebagai masyarakat warga.

Peluang di atas sarat dengan tantangan. Tantangan pertama adalah persoalan digital divide. Ketertinggalan terhadap akses teknologi tidak hanya terkait dengan “mengakses teknologi” (physical access), tetapi termasuk hingga akses terhadap keahlian baik secara operasional, informasional, dan keahlian strategis (van Dijk, 2000).

Keahlian operasional merupakan keahlian paling dasar, seperti dapat membuat account di Kompasiana. Keahlian informasional lebih tinggi lagi, yaitu tahu mencari informasi yang diperlukan secara cepat dan efisien. Artinya, seseorang tidak terjebak pada sistem hyperlinks yang hingga berjam-jam online tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.

Terakhir, keahlian strategis merupakan penguasaan tertinggi yang ditandai dengan dapat menggunakan media baru untuk mendapatkan benefit setidaknya bagi dirinya sendiri. Memasarkan karya kreatif sendiri secara online merupakan salah satu contoh. Seluruh keahlian di atas dapat dan perlu dipelajari. Orang yang sampai pada tahap ketiga ini baru bisa dikatakan benar-benar terbebas dari digital divide.

Kompasiana kedepan perlu lebih memampukan para kompasianer untuk mencapai tahap ketiga tersebut. Struktur Kompasiana.com perlu ditransformasi sehingga memberi kebebasan lebih bagi para kompasianer untuk mengkespresikan diri dengan segala potensinya yang beragam.

Berikutnya yang perlu diperluas adalah bagaimana menjadikan praktek ber-kompasiana sebagai kebiasaan khususnya bagi generasi muda. Sebagai contoh, bagaimana menjadikan Kompasiana sebagai praktek belajar bagi siswa-siswi di sekolah. Generasi kedepan, suka tidak suka, wajib cakap berteknologi, baik sebagai warga negara maupun sebagai masyarakat dunia. Dan kurikulum pendidikan kita masih membutuhkan upaya eksternal ini.

Tujuan besar yang hendak dicapai dalam proses ini adalah mendidik generasi sekarang menjadi pelaku-pelaku demokrasi yang kritis lewat pengembangan warga negara melalui collective discussion and education, sehingga pada akhirnya benar-benar tercipta publik baru di Republik tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun