Mohon tunggu...
Toras Lubis
Toras Lubis Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mengungkapkan apa yang dirasakan dan dilihat oleh mata dalam kehidupan sehari-hari melalui sebuah "tulisan" yang semoga berguna bagi setiap kalangan. :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Risih dengan Pengamen Maksa

3 Maret 2014   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengamen. Kenapa sih masih ada saja? Awalnya saya tidak menghiraukan yang namanya pengamen. Mau mereka itu yang ada ratusan ataupun ribuan, saya tetap cuek-cuek saja. Namun itu kalau pengamennya mengamen dengan sopan dan ramah. Bertemu dengan pengamen sudah menjadi hal biasa. Kalau saya ada uang pasti saya kasih. Tapi dengan syarat mereka harus benar-benar mengamen dengan sopan.

Pengalaman saya dulu pernah bertemu dengan pengamen di sebuah terminal Leuwi Panjang di Bandung merubah paradigma saya terhadap pengamen. Kenapa? Ceritanya bermula waktu saya hendak membawa istri silaturrahmi ke saudara di Pondok Gede. Sesampai di bus, ada seorang anak pengamen dengan umur sekitar 12 tahunan. Seperti biasa dengan gitar kecilnya dia menyanyikan lagu yang banyak dinyanyikan pengamen-pengamen. Biasanya lagu salah satu band dalam negeri seperti Wali Band. Karena liriknya begitu merakyat dan mudah dihafal oleh pengamen-pengamen tersebut.

Ketika anak tersebut menyanyi, awalnya biasa saja. Jujur saya dan istri menikmati nyanyiannya. Saya pun sudah mengeluarkan uang 2ribuan mau dikasih ke pengamen tersebut. Namun, ditengah-tengah lagu anak tersebut seolah-olah mulai tidak nyanyi normal tapi melotot ke semua penumpang yang ada di bus. Semua penumpang dipelototin satu persatu. Wah...ada yang ga benar nih, pikirku saat itu. Dan kecurigaan saya benar. Anak tersebut mengganti lagunya ke lagu dengan lirik yang terkesan maksa dan mengandung sindiran ke penumpang. Yang saya tangkap dari liriknya kalau kita penumpang tidak memberi uang dido'ain masuk neraka, kita penumpang disindir jangan pura-pura tidur, kita penumpang disindir jangan pura-pura mendengarkan lagu sendiri lewat hp sendiri, kita para penumpang jangan pura-pura ngobrol seolah tidak memperhatikan, dan masih banyak lagi sindiran dalam lirik lagunya. Cuma itu yang saya pahami dari liriknya karena pengamennya menggunakan bahasa sunda, kebetulan saya dari medan. Kurang paham (padahal udah kuliah 5 tahun di Bandung haha).

Dengan lirik yang seperti itu, saya jadi mulai kesal. Awalnya saya dan istri niat ngasih uang. Tapi setelah itu, saya dan istri benar-benar tidak menghiraukan anak itu lagi nyanyi. Setelah pengamen itu selesai bernyanyi, seperti biasa dia mengeluarkan kantong plastik bekas permen dan berkeliling meminta uang. Saya tidak mau lagi ngasih, tapi istri tetap maksa agar saya ngasih. Akhirnya dengan berat hati saya kasih. Mungkin saya sudah dapat pahala, semoga istri saya dapat pahala. Hehe

Setelah melewati kursi kami, di belakang ada seorang wanita yang tidak mau ngasih karena memang baru masuk ke bus. Eh, itu pengamen benar-benar nungguin sampai dikasih uang. Malah pengamennya nyeramahin wanita tersebut. Karena dipaksa, wanita tersebut kesal dan mengeluarkan uang 500 rupiah. Tapi pengamen itu tidak mau menerimanya. Dalam hati saya, "songong banget nih anak". Saya mulai emosi saat itu. Namun istri menenangkan saya agar tidak berbuat macem-macem. Karena yang namanya pengamen pasti banyak teman, kalau satu pengamen diserang maka pengamen yang lain akan ikut campur. Gue ga mau bonyok!

Sampai dibarisan kursi paling belakang, pengamen tersebut masih maksa ke penumpang-penumpang lain. Saya dan istri hanya bisa geleng-geleng kepala sampai anak itu keluar. Sambil keluar saya masih sempat melihat anak itu. Dari raut wajahnya anak itu sedang mabuk oleh minuman keras. Tercium dari bau mulutnya juga waktu lewat disamping saya. Dari cara tatapannya waktu bernyanyi yang matanya khas mata orang lagi mabuk. Sangat disayangkan anak seperti itu. Padahal menurut istri saya anak yang mengamen termasuk cakep. Miris melihat nasib anak seperti itu.

Itu baru pengamen di terminal bus. Belum lagi pengamen di angkutan umum. Setiap hari saya pulang pergi kerja masih menggunakan angkutan umum. Waktu jam pulang kantor memang waktu yang paling ditunggu-tunggu. Namun buat para pengguna angkutan umum, jam pulang kerja adalah jam yang bikin ngantuk dan cape. Selain macet, sempit-sempitan, panas, bau keringat, asap rokok dari supir dan yang paling membuat malas adalah adanya pengamen-pengamen yang bergaya anak funk.

Dandanan yang serba metal seperti rambut panjang dan disisir ala harajuku, celana robek-robeknya, tato dilengannya, baju kucel and the kumelnya, muka yang tidak pernah dicuci (seperti baru bangun tidur), dan cuma mengamen dengan tangan kosong. Gerombolan pengamen ini selalu bernyanyi dengan teriak-teriak yang membuat telinga tidak karuan. Sebelum mereka bernyanyi selalu menyampaikan mukaddimah alias kata pengantar mereka mengamen. Dan mukaddimah pun disampaikan dengan marah-marah juga. Boro-boro mau memberi uang, yang ada saya malas sama orang seperti itu. Kebanyakan orang terutama wanita dalam angkot pasti ngasih karena alasan takut. Sebagain ada yang ngasih agar pengamennya cepat-cepat keluar dari dalam angkot. Malas dengarin suaranya. Dan saya, selalu memakai headset dan memutar musik sendiri daripada mendengarkan mereka menyanyi. Karena mereka benar-benar sama sekali tidak menghibur. Setelah menyanyi, gerombolan pengamen seperti ini akan loncat begitu saja dari angkot tanpa bilang ke supir untuk berhenti. Tanpa ada ucapan terimakasih kepada penumpang yang telah memberi mereka uang. Sopan santunnya sepertinya sudah tidak ada dalam diri mereka.

Entah apa yang ada dipikiran pengamen semacam itu. Oiya, waktu mereka mengamen mereka selalu bilang mereka mengamen untuk makan dan sebatang dua batang rokok. Saya sering berpikir, kalau benar itu buat makan, apa benar? Kalau buat sebatang dua batang rokok, ini yang bikin saya tidak mau ngasih uang. Lebih baik disedekahin ke anak yatim daripada uang saya berujung membeli rokok. Benar tidak? Semoga para pengamen-pengamen seperti itu bisa dididik ke arah yang lebih baik. Lebih berguna bagi masyarakat. Tidak membuat orang takut untuk naik angkutan umum. Aamiin

***

Buat para kompasianer, kalau mau ke bandung hati-hati dengan pengamen di terminal dan jalan setiabudhi terutama menjelang sore hari.

***

Salam Kompasiana!

Toras Lubis, 03/03/2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun