Ide membuat tulisan ini muncul setelah makan siang tadi. Pada jam makan siang, saya bersama rekan kantor sempat membicarakan kehidupan masing-masing. Bisa disebut  sambil makan kita curhat-curhatan. Bukannya gosip tapi lebih tepatnya sharing tentang rumah tangga. Kebetulan kami yang sedang makan plus curhat ini sama-sama orang Medan yang sukunya batak. Bedanya rekan kantor saya batak Toba sementara saya batak Mandailing. Bedanya batak Toba dan Mandailing biasanya adalah agama yang dianutnya. Batak Toba rata-rata agama Kristiani, sementara batak Mandailing rata-rata agama Islam. Saya dari batak Mandailing yang beragama Islam. Sebenarnya bagian ini tidak penting untuk dijelaskan tapi biar ceritanya terarah makanya harus dijelaskan.
Bermula dari salah satu rekan bertanya kepada saya, "bagaimana Ras, jadi beli motornya mertua?". Rekan bertanya seperti ini karena saya sempat minta pendapat kepada dia tentang niat beli motor. Saya jawab, "kayaknya jadi. tapi dicicil biar lebih ringan". Mendengar obrolan kami, rekan yang satunya lagi bertanya, "kenapa beli motor dari mertua? kenapa motornya ga dikasih aja sama mertua kamu? kan sudah keluarga". Mendengar pertanyaan ini, sempat membuat saya bingung harus menjawab apa. "Harus tetap dibayari Kak, biar motornya nanti tidak jadi permasalahan dikemudian hari", begitu jawab saya. Rekan saya menjawab lagi sambil menggerutu "aneh banget ya sistemnya. Padahal kan motornya dipakai buat kenderaan kamu ke kantor untuk kerja dan memenuhi nafkah sebagai suami. Intinya buat anak mertua kamu juga". Kemudian saya menjawab lagi "itu kan pikiran kita Kak. Buat orang batak mungkin itu ga apa-apa. Sah-sah saja dipakai atau kalaupun misalnya dibayar itu motor pasti dengan harga semampu kitanya saja. Hitung-hitung jual ke keluarga sendiri".
Obrolan singkat diatas merupakan contoh suka duka menikah dengan orang yang beda suku dengan kita. Kadang ada hal-hal kecil yang kita pikir simple penyelesainnya sementara buat orang lain itu sulit penyelesainnya. Kebetulan istri saya berasal dari suku Sunda. Sebenarnya tidak ada penyesalan telah menikah dengan istri saya. Selain kami saling sayang, kami juga saling terbuka satu sama lain karena kami sadar bahwa kami dari suku yang berbeda dan pasti punya pola pikir yang berbeda juga.
Sebelum menikah, dulu keluarga sempat bertanya kepada saya apa sudah yakin menikah dengan orang yang berbeda suku dengan suku kami. Mereka mengingatkan ada banyak hal yang akan saya hadapi nantinya. Namun saya mantap dengan pilihan saya. Keluarga pun angkat tangan dan menyerahkan semua keputusan pada saya.
Setiap orang pasti mempunyai pengalaman hidup yang berbeda-beda termasuk saya. Adapun suka duka yang saya rasakan menikah dengan orang yang berbeda suku saya rangkum dalam beberapa poin yang membedakan suku batak dan suku sunda.
1. Masalah tempat tinggal
Buat orang suku batak, merantau itu sudah seolah menjadi kewajiban, terutama laki-laki. Pantang buat laki-laki batak untuk tinggal bersama orangtua nya dalam satu desa, apalagi dalam satu rumah setelah mereka dewasa. Itulah yang menyebabkan banyak orang batak di Jakarta. Mulai dari supir angkot, tambal ban, buka warung, pengacara, kuliah buat yang mampu, bahkan tidak sedikit yang jadi preman atau copet. Mulai dari pekerjaan yang nista sampai yang mulia, orang batak mau menjalani daripada harus tinggal bersama orangtua dirumah. Orang batak bukannya tidak sayang sama orangtua, tapi orang batak punya prinsip tidak mau merepotkan orangtua dengan menjadi pengangguran dirumah. Setidaknya dengan mengadu nasib dikota besar, bisa memperoleh uang dan memberikannya kepada orangtua. Setelah mempunyai uang yang cukup, orang batak akan membuat rumah sendiri yang jauh dari rumah orangtuanya. Orang batak tidak mau memakai rumah pemberian orangtua.
Sementara, menurut pengamatan dan kenyataan yang saya lihat. Orang Sunda jarang yang mau merantau. Daripada merantau mereka lebih memilih di rumah orangtua mereka. Atau sekedar membantu pekerjaan orangtua. Pernah saya bertanya kepada teman kuliah saya dulu, kenapa tidak mau merantau. Teman saya hanya menjawab, "mending dirumah sama orangtua. Di perantuan kita tidak tahu apa yang akan dihadapi. Cari aman saja". Mendengar jawabannya, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Kemudian saya tanya juga ke istri kenapa orang sunda jarang yang mau merantau? Istri saya cuma bisa diam seribu bahasa. Jadi, sudah tidak aneh kalau melihat tempat tinggal orang sunda rumahnya pada dekat-dekatan. Dalam satu RT bisa saja warganya saudara dekat semua. Mereka
2. Pekerjaan
Buat orang batak pekerjaan itu boleh apa saja selama itu pekerjaan yang halal. Tidak punya pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat memalukan terutama malu kepada orangtua sendiri. Sementara orang sunda yang saya lihat justru malah kebalikannya. Didaerah tempat saya tinggal sekarang banyak yang pendidikannya sarjana tapi pengangguran. Padahal mereka punya kesempatan yang lebih untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi itu tidak dipergunakan. Ketika saya bertanya kepada istri tentang hal itu, istri hanya menjawab "orang disini tidak mau menjadi orang pesuruh ditempat bekerja". Mendengar jawaban istri saya menjawab,"namanya kita bekerja sama orang lain, ya pasti kita disuruh. Namanya juga kita kerja. Kalau tidak mau gitu, ya jangan kerja". Mendengar jawaban istri, saya menarik kesimpulan bahwa orang sunda terutama daerah tempat tinggal saya tidak mau bekerja karena tidak mau disuruh-suruh atau bisa dibilang mau pekerjaan yang dikelola sendiri tanpa ada yang mengontrol.
3. Pola pikir
Bagian ini yang paling berbeda. Pola pikir antara orang sunda dan orang batak sangat berbeda. Buat orang batak, bicara blak-blakan itu sangat dijunjung tinggi. Sepahit apapun yang mau dikeluarkan mulut walaupun kadang menyakiti pasti dikeluarkan. Antara hati dan mulut selalu sinkron. Orang batak tidak bisa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati. Pola pikir orang batak itu keras.
Sementara orang sunda lebih memilih memendam yang ada dihati daripada menyakiti hati orang lain. Antara hati dan mulut sering tidak sejalan. Lidah bilang A sementara hati bilang B. Orang sunda bisa melakukan sesuatu walaupun hatinya kadang menolak. Pola pikir orang sunda itu kebalikan pola pikir orang batak.
4. Prinsip hidup
Orang batak mempunyai prinsip hidup yang sudah ditanamkan oleh orangtuanya yaitu "hidup itu jangan bergantung pada orangtua. Mau makan cari makan sendiri". Sementara orang sunda punya prinsip hidup "makan tidak makan, yang penting ngumpul". Kedua prinsip ini sebenarnya tujuannya sama-sama baik. Prinsip orang batak bertujuan agar anak-anaknya lebih mandiri. Sementara prinsip orang sunda lebih mengarah kepada kebersamaan keluarga.
Itulah pengalamanku menjalani keluarga dengan yang berbeda suku dengan saya. Banyak suka dan duka yang dilewati. Kadang ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ada hitam ada juga putih. Saya yakin perbedaan ini memberikan warna tersendiri dalam hidup saya. Saya percaya akan hal itu.
Salam Kompasiana!
Toras Lubis, 28/03/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H