Mohon tunggu...
En-three-ge Torangga
En-three-ge Torangga Mohon Tunggu... -

Penulis Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sastra Islami, Insya Allah Masih Ada (Tanggapan Atas Tulisan, Yons Achmad)

8 Desember 2013   16:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin malam, saya membaca artikel Bang atau Pak Yons Achmad, yang berjudul, “Intan Savitri: Sastra Islami (Sudah) Tidak Ada”, yang ditulisnya di media online Wasathon. Ada beberapa teman yang meng-copypaste-nya. Ada yang setuju dan adapula yang menolak isi dari tulisan itu. Komentar demi komentar muncul di media sosial, namun saya tidak mau ikut campur mengomentarinya di jejaring sosial. Saya rasa lebih afdol kalau dikomentari lewat artikel semacam ini.

Saya tidak kenal dengan Bang Yons, walaupun kadang saya melihat beberapa tulisannya di beberapa laman, atau juga lewat copas di facebook. Dari tulisan-tulisan sebelumnya, saya tidak perlu berkomentar, karena gagasan, ide, pendapat dia tidak ada yang perlu saya tanggapi Namun awal membaca tulisan kali ini, saya kaget, dan menilai Bang Yons kurang hati-hati menulis, atau kalau bisa dikatakan, Mbak Intan Savitri juga tidak hati-hati membuat pernyataan. Paling tidak dalam catatan saya ada beberapa poin ketidakhati-hatian yang ada dalam muatan tulisan ini.

Ketidakhati-hatian pertama, adalah membubuhi kata “sudah” yang ada dalam kurung pada judul. Kata “sudah” di sini, menunjukkan adanya penafsiran muncul dari penulis sendiri. Kalau kita membaca lagi tulisan tersebut, malah kita menemukan kata “meredup”, artinya masih bergradasi untuk menuju kata “sudah”. Jadi meredup di sini bisa dibilang sebagai ancaman, dalam arti kata belum terjadi. Sedangkan “sudah” adalah lampau. Kalau saya mau sarankan, sebaiknya beri judul, “Sastra Islam (Terancam) Tidak Ada”. Toh, judul itu juga tetap menggigit.

Sebagai pembaca ketika saya melihat ada nama “Intan Savitri” pada judul, saya pun menyangka bahwa semua pendapat di dalamnya adalah pemikiran Izzatul Jannah. Memang benar, Mbak Intan-lah yang berkata bahwa sastra Islami tak ada. Tapi ketika membaca lagi isi keseluruhan tulisan, ada beberapa paragraf yang tidak menggunakan, paragraf jurnalistik, dimana Bang Yons tidak membubuhi kata: dia mengatakan, menurutnya, ia menyebutkan dan sebagainya. Maka, rupanya ini bukan tulisan “soft news” yang isinya semua pernyataan Intan Savitri (Izzatul Jannah), namun ini artikel opini yang dibuat sendiri oleh Bang Yons Achmad, untuk mengembangkan pemikiran Intan Savitri. Menurut saya, kalau memang ini opini Bang Yons Achmad, sebaiknya judulnya cukup “Sastra Islam Sudah Tak Ada Lagi”. Biarkan isi tulisan menceritakan atau mengutip pendapat Intan Savitri, sebagai penguat pendapat Bang Yons sendiri.

Ketidakhati-hatian kedua, pernyataan hal itu disebabkan oleh pengusungnya yang sudah tidak konsisten. Sebagai aktivis Islam ketidakaktifan pengusung/pencetusnya kurang tepat dijadikan alasan. Andaikan sastra Islam adalah lahir dari nilai Islam, maka saya yakin, sastra ini tidak mengandalkan individu tapi nilai. Alangkah, ragunya kita menganggap Islam pada sastra tidak dinamis dan bergantung pada orang-orang tertentu.

Ketidakhati-hatian ketiga, memunculkan aksioma jikalau kader FLP tak aktif (mungkin bisa dibilang disorientasi) dan media Islam semacam ANNIDA tidak eksis, lantas sastra Islami dianggap hilang.

Menurutku, FLP dan ANNIDA sudah menciptakan perubahan. Karena itulah tidak heran bermunculan tulisan-tulisan Islami, penerbit Islami, dan penulis Islami yang kita sendiri tidak tahu siapa mereka itu, karena bukan dari aktivis Islam. Saya pun yakin, FLP dan ANNIDA, diganjar pahala jariyah atas usahanya yang telah memunculkan pemahaman Islam dalam sastra dan diterima oleh publik. Boleh jadi nilai yang ada dalam sastra Islam ala non aktivis Islam, yang marak sekarang ini, tidak sama dengan ala FLP. Akan tetapi kita juga tidak bisa men-judge bahwa kalau bukan dari aktivis Islam-apalagi dari Tarbiyah, maka bukan sastra Islami namanya.

Ketidak hati-hatian keempat, adalah, hilangnya sastra Islam karena pola gaya hidup aktivis Islam yang dianggap berubah. Aktivis Islam dianggap lebih tertarik pada politik praktis, dan ikut pada arus partai tertentu. Dan oleh karena itu, juga merubah referensi bacaannya.

Menurut saya, kurang baik menganggap bahwa aktivis tersebut sudah tak Islami. Sebab bicara soal referensi bacaan, ini bicara soal bagaimana pembaca, mencari bacaan yang bisa membuatnya survive dengan lingkungannya, atau bisa mendapatkan wawasan baru.

Padahal jika kita mau membuka mata, justru tak banyak perubahan pada aktivis Islam, sekalipun ada prinsip keterbukaan. Saya sendiri pernah aktif di organisasi KAMMI pada tahun 2004 hingga 2008, justru saya melihat aktivis Tarbiyah yang duduk di bangku kampus tidak terjebak pada politik praktis. Malahan jika dilihat lagi ada fenomena penurunan budaya partisipasi pada organisasi politik ataupun organisasi pergerakan mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa sekarang lebih suka pada organisasi/komunitas kreatif. Padahal jika dibanding tahun 90-an sampai 2004, terlalu kentara berpolitik praktis. Dimana saat masih dalam periode perkembangan sastra Islam itu, aktivis mahasiswa bahkan sampai pelajar begitu bangga menunjukkan simbol-simbol kepartaian.

Sesunggugnya perubahan referensi bacaan itu juga karena kelemahan FLP Pusat sejak awal. Ada banyak buku-buku referensi Islam, ditambah tulisan-tulisan para kader, kenapa FLP Pusat tidak membuat semacam keputusan pimpinan, bahwa aktivis FLP harus membaca buku-buku Islam yang sudah ditentukan. Malah, FLP di daerah hanya mendapatkan Modul Kaderisasi dari FLP Jogja, yang diakuisisi oleh FLP Pusat.

Perubahan referensi bacaan saya kira juga adalah efek sosial politik di Indonesia. Jikalau kita mengacu pada sejarah tahun 90 hingga 2000-an adalah masa dimana publik terutama aktivis Islam tengah “mengujicoba” ideologinya usai dikekang oleh Orde Baru. Ibarat kran baru dibuka, air memancar deras, setelah beberapa menit, airnya mengalir dengan biasa saja. Maka tidak heran referensi bacaaan masyarakat kala itu berbeda-beda, ada yang betul ke Kiri-kirian dan ke Kanan-kananan. Apalagi aktivis Islam, tahun-tahun demikian kita menikmati betul bacaan semacam Sabili, UMMI, Annida, Saksi, Tarbawi dan sebagainya. Lalu akhirnya kita mengalami kebosanan, sebab tema dan yang diusung mungkin dianggap sudah tidak relevan lagi. Majalah-majalah itupun tidak seeksis dulu. Bukan hanya tidak lagi dinikmati oleh aktivis Tarbiyah, adanya stagnasi juga dirasakan hampir di semua harakah Islam.

Berubahnya referensi juga, karena fenomena melek internet. Apalagi pada kalangan anak muda. Dulu arus informasi hanya sebatas di buku atau majalah kertas, jadi kala itu kita hati-hati betul menyeleksi bacaan. Sebab ini juga bicara soal biaya pengeluaran. Jika dulu, aktivis Islam diberikan pilihan antara Tempo dan Sabili, maka mereka pilih Sabili. Karena kalau dia pilih Tempo dia khawatir, uangnya habis, pemikirannya rusak. Sementara saat ini, penyajian media secara gratis, dia bebas pilih referensi mana saja. Tak heranlah, ada keterbukaan pemikirannya terhadap pemikiran yang lain.

Kemudian dalam hal, sangkut paut dengan keterbukaan partai, tidak bisa diterima begitu saja. Meredupnya semangat sastra Islam, itu terjadi sebelum partai Tarbiyah mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Misalnya, ANNIDA terpaksa menjadi media online pada Juli tahun 2009, sementara partai itu didekralarasikan sebagai partai terbuka pada Juni tahun 2010. Lantas mengapa mesti partai yang disalahkan?

Saya lebih tidak ingin terjebak pada hubungan organisasi kepenulisan mandiri itu dengan partai. Bahkan sebagai ketua FLP Sulteng saya sendiri tidak mau membawa-bawa partai dalam urusan rumah tangga FLP. Tidak ada ketergantungan kita pada partai, tidak ada keterikatan kita pada partai, jika Islam yang diusung oleh FLP sama dengan partai maka terimalah itu sebagai takdir sejarah dan takdir ideologis. Bagi saya, beda wilayah garapan, beda pula cara pengaturan organisasinya.

Jikalau dulu memang Izzatul Jannah merasakan adanya perubahan gaya hidup oleh kader-kadernya. Mengapa, Intan Sendiri tidak melindunginya. Toh, dia adalah pimpinannya. Saya kira ini adalah soal manajemen saja.

Klau benar Sastra Islam sudah tak ada menurut Intan Savitri, lantas kemanakah Sastra Islam selama kepemimpinannya? Kalau sudah tidak ada lagi, lalu disebut apakah Wasathon yang katanya sebagai pengembangan sastra Islam?

Dan ketidakhati-hatian terakhir adalah kritik terhadap kader yang berkompetisi lewat ajang Tulis Nusantara, event komunitas lain yang notabene menurutnya bukan berasal dari estetika sastra Islam. Padahal, menurut saya dalam upaya pengembangan kader adalah dengan cara seperti ini pula. Adapun pengayaan Islam, adalah urusan manajemen organisasi untuk terus mengembangkan nilai-nilai Islami secara internal. Bagaimana mereka bisa membuktikan karya tulis mereka diterima di masyarakat, kalau kita membatasi mereka pada wadah kita saja. Selain itu, bagi beberapa daerah, dari hasil potongan royalti tulisan di media mainstream atau hasil lomba itulah, keuangan organisasi dikelola.

Baiklah, mari kita membahas sedikit tentang sastra Islam. Tema “Sastra Islam” diusung pertama kali oleh M Irfan Hidayatullah. Dia pun membagi sastra Islam terbagi menjadi tiga, yaitu Sastra Islam Sufistik, Sastra Islam Profetik, dan Sastra Dakwah Islam.

Penulis Sastra Islam Sufistik ini biasanya ada kalangan alim atau ulama, yang senang berasyik mahsyuk dengan Tuhannya. Sebutlah mereka, Rabiyatul Adawiyah, Sumnun bin Hasan Basri, Saqiq al-Balkhi, Junaid al-Baghdadi, dan lain-lain. Sementara Sastra Profetik kita bisa mengenalnya pada karya, Kuntowijoyo. Sedangkan FLP lebih mengusung Sastra Dakwah Islam.

Oleh karena itu, klaim atas islaminya sebuah sastra tidak bisa hanya pada kalangan aktivis Islam saja. Orang lain, yang bukan aktivis pun bisa dibilang memiliki karya Islami. Ambil contoh, Hanum Rais atau Ahmad Fuadi yang belakang terakhir ini karyanya diterima di masyarakat.

Terakhir, saya tidak ingin mengatakan Pak Yons Achmad atau Intan Savitri mengalami kekeliruan soal ini. Mereka adalah guru bagi kami para penulis pemula. Insya Allah kami bisa tetap menerima ide dari mereka.

Kesimpulan atas tulisan ini, yang benar menurut saya adalah, Karya Sastra Islam Hampir Tidak Ada, atau lebih baik dikatakan, “Sastra Islam Insya Allah Masih Ada”.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun