Mohon tunggu...
Torang Siagian
Torang Siagian Mohon Tunggu... -

Seorang karyawan swasta yang berdomisili di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uang Masuk dan Tempat Basah, kok Belum Punah?

8 Oktober 2015   06:32 Diperbarui: 8 Oktober 2015   07:45 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami menikmati makan malam,membahas pengangguran di kampung. Jumlah nya tidak pasti berapa jumlahnya,namun yang nyata terlihat,warung kopi dan tempat mangkal,di simpangan jalan,masih banyak orang yang menjadi penghuni tetapnya. Mereka pastinya bukan orang berpenghasilan tetap seperti layaknya orang bekerja,namun bukan juga pengangguran total yang tidak mendapatkan penghasilan. Sesekali ada job,buat mereka. Bisa menjadi supir dadakan,bisa menjadi pengatur jalanan sementara saat macet,bisa menjadi makelar/perantara jual beli tanah atau bahkan bisa menjadi kuli bangunan. 

Saya dan lawan bicara adalah mertua yang memang sengaja datang ke rumah saya,dan masih betah tinggal dengan cucunya untuk sementara waktu. Nanti dia akan pulang ke kampungnya juga,karena di usia pensiun seperti ini,kadangkala dia masih suka ke ladang, atau bersilaturahmi dengan sesama pensiunan di kampung sana. Mertua saya cukup kritis untuk membahas beberapa topik,khususnya mengenai pemerintah.Dan malam ini,kami membahas masalah pengangguran.

Menurut beliau,salah satu kegagalan kenapa pengangguran masih banyak,karena ketidaktepatan mencari orang yang betul,dan punya niat yang baik untuk negara ini.Pola rekrutmennya menjadi sorotan utama,awal kegagalan ini.Kondisi daerah yang pembangunan nya masih terlalu lamban saat ini,di satu sisi,produk kegagalan pengelolaan oleh orang-orang duduk di pemerintahan daerah. Paradigma dan pola pikir,skill dan pengetahuan,jam terbang dan pengalaman,serta manajemen resiko kurang dipakai. 

Polapikir para aparatur negara di daerah tidak banyak berubah ke arah yang lebih baik.Istilah uang masuk dan tempat basah belum punah atau malah sekarang makin menjadi-jadi. Pos-pos dimana istilah itu dipakai,menjadi rebutan bahkan bisa menjadi kebanggaan tersendiri.

"Kalau mencari emas,jangan di tempat sampah dan mencarinya juga tidak mudah,harus memakai teknik khusus yang baik" kata mertua saya. Analogi yang sama dipakai untuk mencari SDM-calon pelayan masyarakat,calon aparatur negara. Dan sudah menjadi rahasia umum,perekrutan dilakukan seadanya dan berbau 'uang'.Demikian halnya ketika telah terpilih,karir cukup dominan,dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak professional.

Inilah negara ku tercinta,orang-orang yang bagus,mumpuni dibidangnya,kurang terapresiasi,sementara orang yang terpilih dengan pola rekrutmennya asal-asalan,penuh intrik,uang terpilih.Bahkan mereka dan keluarga besar mereka akan sangat bangga,ketika mereka menduduki posisi tertentu yang terkenal dengan 'uang masuk' yang berlimpah serta 'tempat basah'.

Pantas saja daerah-daerah tidak berubah ke arah yang lebih baik,dan pengangguran jumlahnya tidak berkurang,kalau yang mengelola daerahnya nya direkrut dari 'tempat sampah' dan caranya dengan metode "asal" Asal punya kerabat dan keluarga,asal punya uang,asal punya ijazah dari univ/sekolah antah berantah,dan asal punya pola pikir feodal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun