Sejarah perfilman di Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh dengan akar sejarah perfilman dunia, jika tanggal 28 Desember di rayakan sebagai hari film dunia dengan mengacu hadirnya film Workers Leaving the Lumiere’s Factory yang tayang tanggal 28 Desember 1895. Di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900 hadir sebuah bioskop di daerah Tanah Abang yang memutar film atau saat itu di sebut Gambar Idoep, era perfilman pun masuk ke daerah Hindia Belanda atau Indonesia sekarang.
Begitu juga pembuatan film di Indonesia di mulai saat film bisu pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng di produksi tahun 1926. Hollywood pun membuat film filmnya sekitar tahun 1920an, film di Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh dengan sejarah film dunia. Namun untuk pergerakan film di era Indonesia merdeka, hari film nasional di peringati setiap tanggal 30 Maret, sebuah peringatan untuk mengenang syuting pertama film produksi nasional dengan sutradara dan crew film orang Indonesia, Film Darah Dan Doa yang pengambilan gambarnya di laksanakan pada tanggal 30 Maret 1950 di tetapkan sebagai hari perfilman nasional.
Film Darah dan Doa di sutradari oleh Usmar Ismail, begitu juga film Tiga Dara yang merupakan film musikal produksi tahun 1956 dengan para pemainnya yaitu Chitra Dewi,Mieke Wijaya dan Indriati Iskak.
Restorasi Film Tiga Dara, Upaya Mahal Selamatkan Film Nasional
SA Film berhasil merestorasi film Tiga Dara dan tak tanggung tanggung untuk budget memperbaiki film Tiga Dara mencapai nilai 3 milyar, sebuah angka yang cukup mahal untuk sebuah restorasi film, namun upaya SA Film patut kita apresiasi. Konon di zamannya saat rilis pertama film ini di tahun 50 an, film Tiga Dara termasuk film box office dengan pendapatan 10 juta untuk penjualan tiketnya dan merajai di bioskop bioskop tanah air. Kepopuleran film Tiga Dara menarik minat presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno untuk menayangkan secara pribadi di istana negara di Bogor saat ulang tahun Ibu Hartini.
SA Film merestorasi film Tiga Dara dengan format 4K, dan kita menikmati sajian film restorasi dengan nyaman, semoga nantinya akan ada kembali restorasi restorasi film klasik Indonesia sehingga harta karun film Indonesia bisa terselamatkan.
Vinegar Syndrome Musuh Utama Film Lawas Indonesia
Indonesia negeri tropis, sebuah negeri yang menjadi dambaan banyak masyarakat dunia dan dengan cahaya mentari bersinar sepanjang hari yang membuat iri penduduk yang tinggal di daerah empat musim. Namun iklim tropis yang lembab membuat kita mewaspadai benda benda yang klasik dan berumur malah rusak karena faktor iklim.
Film Tiga Dara yang telah berumur 60 tahun, awalnya dalam kondisi mengenaskan dengan banyaknya ‘kanker film’ atau vinegar syndrome, hampir semua film memakai pita plastik selulosa asetat, penyimpanan yang kurang memperhatikan temperatur ruangan dan di simpan kondisi cuaca yang lembab dan hangat maka umur film akan semakin pendek. Rerata film film klasik Indonesia mengalami nasib sama seperti film Tiga Dara sebelum restorasi.
Karena termakan usia dan juga kondisi iklim dan juga penyimpanan film dalam kondisi tidak ideal, film film lawas akhirnya mengalami nasib seperti bagian film ada yang patah, kotor dan berdebu sehingga kualitas gambar pun memudar, buram, audio pun tersendat dan lebih parah lagi kondisi film bisa benar benar tidak bisa di putar karena rusaknya fisik film.