Indonesia memang tertakdir sebagai negara yang memiliki banyak potensi cadangan mineral, dari pulau Sumatera hingga Papua, banyak sekali potensi pertambangan yang dapat diekplorasi untuk sejahteranya rakyat, namun harapan itu tampaknya belum terwujud meski Indonesia telah memasuki usia ke 70 setelah memasuki era kemerdekaan.
Dan pertambangan bauksit sebagai salah satu potensi pertambangan yang menjanjikan, produk turunan dari pertambangan bauksit adalah alumina dan aluminium, dengan taksiran cadangan potensi bauksit tanah air sebesar 3,22 milyar ton dengan sumber daya sebesar 7,55 milyar, tentu saja ini sebuah potensi yang sangat cetar membahana, dan dibalik semua itu, pertambangan bauksit tanah air telah banyak menyumbang gelontoran rupiah untuk negara.
Merujuk dari seminar nasional Kompasiana beberapa waktu lalu, usaha pertambangan bauksit di tahun 2013, telah menyumbang penghasilan sebesar 18,41 triliun untuk penjualan, pajak sebesar 4,12 triliun dan PNBP sebesar 0,64 triliun. Sebuah angka yang besar sebenarnya namun dibalik semua itu, ada sebuah kelemahan yang semestinya dibenahi, dan kelemahan itu menjadi sebuah cermin untuk perbaikan, kelemahan yang paling di sorot adalah tentang kepastian hukum yang memayungi pertambangan bauksit dan juga industri smelter alumina, inilah yang harusnya menjadi perenungan kita semua, bahwa sebesar apapun potensi cadangan mineral, jika policy pemerintah tidak kuat maka segala potensi itu akan terasa sia sia.
Acakadut Hukum Di Seputar Pertambangan Bauksit
Suara keras dilontarkan Ir Simon Sembiring yang pernah menjadi Dirjen Minerba, tanpa basi basi beliau menjelaskan bahwa Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang tak ada satupun pasal bahwa tak ada larangan untuk melakukan ekspor biji besi dan mineral dan juga batu bara, larangan terjadi jika ada beberapa hal seperti karena masalah lingkungan, jika sebuah pertambangan dianggap mengabaikan dampak dari lingkungan hidup maka larangan ekspor bisa terjadi, masalah HAM, dan juga dampak perang, dan ini adalah standarisasi yang telah ditetapkan oleh World Trade Organitation(WTO).
Hal yang harus diperhatikan lagi bahwa bukan melarang ekspor namun adalah mengendalikan ekspor. Hal yang sangat di sayangkan oleh Ir Simon Sembiring adalah banyaknya peraturan pemerintah yang tumpang tindih, mantan Dirjen Minerba ini menyebutkan bahwa PP 23 tahun 2010 pasal 85 dan juga 84, namun di pasal 112 di PP yang sama saling bertentangan, ini yang membingungkan.
Saran Simon Sembiring, seharusnya membenahi peraturan pemerintah, dan juga rasa keadilan dan harus ada sanksi yang tegas bagi pelanggar Undang Undang. Sedangkan Faisal Basri yang juga pengamat ekonomi ternama dan juga kompasianer menyoroti tentang index yang mengukur kebijakan pemerintah terhadap perilaku investor, misalnya bahwa Indonesia memiliki urutan ke 112 dalam hal Policy Perception Index, padahal untuk index indek tertentu seperti tentang kompetensi dan juga sumber daya pekerja di sektor pertambangan sudah cukup bagus.
Bahwa investasi di pertambangan memiliki nilai yang tinggi, seharusnya kepastian hukumnya pun mestinya sangat diperhatikan, dan pemerintah bila tidak memiliki kepastian hukum dan pengaturan maka hasil akan diperoleh dari investasi menjadi tidak pasti diperhitungkan dan resiko investasi kian tinggi. Saat ini Indonesia berada di urutan 76 dalam hal Investment Attrativeness Index, dan itu sangat mungkin peringkatnya jauh lebih baik jika kepastian hukumnya lebih pasti dan tidak tumpang tindih.
Roadmap Almunium, Langkah Cerdas Yang Perlu Dilakukan
Aluminium mempunyai nilai ekonomi yang strategis, di hampir usaha industri, alminium sangat diperlukan, sebagai contoh bahwa alminium memiliki tempat yang begitu besar dalam penyerapan bahan untuk industri, saat ini tercatat aluminium nomor dua yang digunakan bagi kepentingan industri, hanya kalah oleh baja, sebagai logam yang penting dan sifatnya yang ringan dan kuat, dengan berat jenis 1/3 dari berat jenis baja, aluminium digunakan untuk industri otomotif. Dengan konduktor listrik yang baik, aluminium juga digunakan industri kelistrikan, untuk pembuatan kabel misalnya, komponen aluminium memiliki kandungan yang bagus.
Aplikasi peralatan rumah tangga pun memakai aluminium pun digunakan karena dapat mentransmisikan panas dan memantulkan radiasi panas yang baik, selain itu aluminium pun memiliki Inert atau ketahanan korosi, industri pengemasan makanan pun membutuhkan alminium, juga di industri kesehatan, aluminium dapat diaplikasikan, dengan fungsi yang disebutkan diatas maka roadmap alminium sangat diperlukan.
Menurut Prof.Dr. Ing Bambang Suharno pakar metalurgi UI, di tahun 2007 ketika pemerintah menanyakan pentingkah Inalum diambil, maka dengan tegas Bambang Suharno menyatakan bahwa Inalum harus dimiliki bangsa ini dan selain itu alumina plant adalah sebuah keharusan yang sifatnya harus disegerakan.
Aluminium yang kita kenal memang banyak digunakan mulai dari pembuatan panci hingga pesawat terbang, kebutuhan akan aluminium pertahunnya ditaksir di angka 800 ribuan ton, sedangkan Inalum mempunyai kapasitas produksi di kisaran 250 ribu ton, dengan masih timpangnya antara kebutuhan dan dan kapasitas produksi, seyogyanya pemerintah harus mendukung perusahaan perusahaan yang benar benar membangun industri aluminium, karena saat ini terjadi jarak atau gap yang sangat jauh dan ada mata rantai yang putus dalam hal aluminium plant.