Musim libur panjang tiba di akhir tahun, semua moda angkutan mulai darat, laut dan udara begitu dipadati penumpang, dan di musim akhir tahun pun biasanya cuaca di sebagaian besar wilayah Indonesia mengalami musim penghujan, dan dapat di tebak faktor alam banyak mempengaruhi jumlah kecelakaan di negeri ini, salah satu yang membetot perhatian publik tanah air adalah musibah terhempasnya Air Asia QZ 8501 di daerah perairan Kalimantan, padahal tujuan pesawat naas itu adalah Singapura.
Setelah pencarian dramatis oleh para relawan dan juga Basarnas, kini pun masih diupayakan pencarian dari pesawat yang tinggal landas pada tanggal 28 Desember 2014 lalu di bandara Juanda Surabaya, memberangkatkan pesawat jauh lebih komplek dibanding dengan moda lainnya. Sebagai bahan bandingan, saat terminal Kalijaya memberangkatkan bus bus yang terparkir pun tentu ada mekanismenya, kenapa Bus Agramas berangkat pada jam sekian sedangkan bis Bintang Sanepa atau Widia mengambil jam yang berbeda walau tujuannya sama ke arah Raja Galuh misalnya.
Yang paling apes di negeri kita adalah, baru ramai setelah kejadian, coba bayangkan jika Air Asia selamat ke Singapura di hari Minggu itu maka kita pun tak akan pernah tahu bahwa pihak Air Asia tak mengambil data cuaca ke BMKG, atau kita nggak pernah tahu kenyataan yang terjadi bahwa Air Asia hanya memiliki izin terbang di hari Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu dan tidak untuk hari Minggu.
Sedangkan hari Minggu akhirnya Air Asia 'memaksakan'terbang, hingga kejadian hilang kontak dan akhirnya dipastikan pesawat jenis Airbus ini jatuh di perairan Kalimantan, ini salah siapa, Air Asia nggak mungkin ujug ujug terbang, karena pesawat tidaklah semudah metromini berangkat dari terminal Blok M ke Depok, perlu aturan aturan yang ketat, walau mungkin Air Asia salah namun beranikah kementerian Perhubungan mengakui kelalaian oknum pegawainya yang mengizinkan Air Asia terbang'illegal'.
Jika Air Asia terbang illegal tentu sudah di deteksi oleh radar Angkatan Udara, ingat saat beberapa pesawat asing yang dipaksa turun karena terbang illegal di udara Indonesia, saat itu pesawat tempur Sukhoi langsung turun tangan, sedangan Air Asia masih bisa melenggang hingga ke wilayah udara hingga ke Bangka Belitung dan tak terjadi apa apa, ini berarti Air Asia bukan menerbangkan pesawat gelap, yang jadi pertanyaaanya, beranikah kementerian Perhubungan paling tidak merasa bertanggung jawab.
Atau jangan jangan malah inilah hikmah dibalik musibah, betapa carut marutnya kinerja departemen perhubungan misalnya, mungkin ini adalah tamparan bagi pengelola moda perhubungan di negeri kita. Mampukah akhirnya Pak Ignatius Jonan merevolusi mental para pegawai departemen yang dipimpinnya, karena sudah sering kita mendengar rentetan kish pilu kecelakaan entah itu di darat, laut atau udara.
Semoga apa yang terjadi adalah pelajaran, walau pilihan pelajaran itu sangatlah mahal, nyawa orang tak sebanding dengan pelajaran yang kita dapatkan, semoga pemangku kepentingan di bidang perhubungan mulai membuka mata, sangat mungkin banyak kesalahan dalam memenejemen sistem transportasi kita.
Dan pekerjaan rumah buat Pak Jonan, semoga pak Jonan dikuatkan untuk membenahi semua ini walau mungkin perlu waktu namun kita masih berharap agar carut marut itu bisa disingkirkan sedikit demi sedikit, salam berkabung untuk dunia dirgantara nasional, semoga tak ada lagi kecelakaan yang seperti ini di waktu yang akan datang. Salam Indonesia Raya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H