Lelaki kelahiran Lahat 21 Mei 1979 ini selalu memberi kejutan untuk publik tanah air tentang dunia litersi, dia adalah Darwis atau yang dikenal sebagai Tere Liye yang merupakan penulis best seller dengan sejumlah karya yang ia tulis.
Tahun 2017, Tere Liye pernah mengusik publik tentang pajak penulis dan juga pajak pekerja seni dan langsung ditanggapi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. NPPN pajak untuk penulis kini setara dengan lawyer, akuntan ataupun dokter,keuntungan lain adalah PPN buku di hapus dan penulis lain pun menikmati apa yang diperjuangkan Tere Liye.
Mungkin kekesalan penulis Hafalan Shalat Delisa dan Negeri Para Bedebah telah mencapai ubun ubun, secara blak blakan, Tere Liye menyebutkan jika buku karyanya berharga antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000 dan dianggap buku baru, dipastikan buku tersebut adalah bajakan.
Jagat media sosial pun gaduh dan sahut menyahut antara pro dan kontra, karena pernyataan Tere Liye bukan melulu buku bajakannya, yang membeli buku bajakan adalah orang dungu. Kontan hal ini yang membuat suara netizen terbelah, ada yang tidak setuju jika Tere Liye menggunakan kata kata kasar untuk yang beli buku bajakan, gunakan bahasa yang lebih beradab gitu deh.
Persoalan pembajakan di tanah air memang tak pernah usai, dibutuhkan juga tangan pemerintah untuk menangani persoalan yang telah sejak ada, karya bajakan memang merugikan semua yang terlibat dalam penerbitan buku. Entah itu penulisnya, percetakan, distributor hingga tentu saja penerbitnya.
Murkanya Tere Liye sangat beralasan dan logis, soal pembajakan, kita semestinya satu suara, basmi sampai ke akar-akarnya, negara pun tak mendapat hasil apapun dari buku bajakan. Data Political nd Economic Risk Consultacy dan mensurvey 11 negara di Asia, memunculkan nama Indonesia sebagai negara dengan catatan paling buruk dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, skor yang didapat adalah 8,5.Â
Bandingkan dengan negara tetangga Singapura yang hanya 1,5, dengan hasil survey tersebut tak heran jika negeri tercinta ini menjadi prioritas pengawasan United States Trade Representative. Padahal secara perundangan, Indonesia pun memiliki Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Dalam undang undang tersebut ada niatan dari negara untuk bersungguh sungguh melindungi hak ekonomi dan hak moral pencipta dan pemilik hak, terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas nasional. Tere Liye telah bersuara tegas untuk pembajakan, di banding beli bajakan, lebih terhormat meminjam buku atau juga baca diperpustakaan.
Menurut penulis sudah saatnya semua pihak pemangku kepentingan yang berkaitan dengan Hak Cipta, lebih serius lagi untuk fight melawan para pembajak, yang punya marketplace pun seyogyanya lebih mendispilinkan para pelapak yang menjual karya karya bajakan, tutup saja lapaknya sekalian jika terindikasi menjual barang bajakan.
Meski pada akhinya mungkin saja hal ini hanya viral sesaat, namun membuka jalan agar pemerintah jadi peduli, seabreg undang undang namun jika dalam pelaksanaannya tidak bertindak tegas untuk menghancurkan para pembajak Hak Cipta, tetap saja negeri ini menjadi surga untuk barang barang bajakan.
Setelah kasus Tere Liye melawan pembajakan dan beliau memberikan ancer ancer tentang buku bajakan di marketplace, yuk ah lebih selektif lagi memilih buku yang kita beli, dengan tidak membeli buku bajakan berarti kita semua menghargai hak cipta orang lain, kepikir juga dong jika satu ketika karya yang kita buat dengan sepenuh hati, pikiran dan tenaga, malah dibajak dengan santuynya, sakitnya tuh terasa banget deh.