Melalui 23 stasiun kereta dari Cikarang hingga Pondok Cina, bertemu dengan teman teman Kompasianer di kota Depok adalah berkah tersendiri yang dirasakan oleh penulis. Bertempat di cafe Coffe Toffe, mungkin inilah pertemuan offline sesama Kompasianer sejak beberapa bulan terakhir karena adanya pandemi Covid-19.
Bertemu Bang Isson, Om Yon Bayu, Ayah Dian Kelana, Mas Reno, Mbak Nisa, Mbak Nurul, Bu Muthiah, Babe Syaiful, sobat rusuh Agan Andre dan tentu saja Papanda Thamrin Dahlan yang punya acara. Ngumpul seru dengan para kompasianer ya nggak jauh jauh deh dengan dunia literasi.
Adalah Papanda Thamrin Dahlan yang bulan Agustus tahun ini merayakan satu dasawarsa berada di blog keroyokan bernama Kompasiana, selama rentang sepuluh tahun, pensiunan Polri ini telah memposting 2.755 artikel dengan jumlah keterbacaan mencapai 1.546.684, mencapai 129 rubrik Headline dan 1.009 artikel pilihan.
Penulis menyebut Thamrin Dahlan dengan sebutan akrab "Papanda" sebagai bentuk rasa hormat, bagi penulis, sosok Thamrin Dahlan adalah panutan di dunia literasi digital. Beruntung di undang saat Papanda mengadakan syukuran dengan kiprah beliau di Kompasiana dalam rentang 2010-2020.
Maka tak tertolaklah rahasia mengapa Papanda Thamrin Dahlan begitu produktif menulis, saat ini beliau telah membuat buku lho, dan berapa ya tulisan yang telah di bukukan pria yang menghabiskan masa kecilnya di Jambi. Satu? Salah!, Dua? Belum tepat bung.Â
Thamrin Dahlan telah menerbitkan buku sebanyak 30 euy. Sepertinya akan terus bertambah karena Papanda tercinta memiliki target pribadi yakni merampungkan 40 buku ketika berusia 70 tahun.
Temu kangen ini menyadarkan penulis bahwa sebagai blogger tak terlena menulis di media digital, harus ada pembuktian bahwa ada karya literasi nyata bernama buku.Â
Sepanjang acara nongkrong, begitu blogger asal Cikeas Udik, Agan Andre menyebutnya, Papanda senantiasa menyuntikan semangat agar para kompasianer bisa menerbitkan buku. Menurut Papanda Thamrin Dahlan, buku itu mahkotanya penulis, yang ngaku penulis hayo nggak punya buku berarti nggak punya mahkota.
Seperti di sepak bola ya, negeri kincir angin ini dianggap juara tak bermahkota karena tak pernah juara meski penampilan mereka sudah total football banget. Kembali ke suasana temu kangen, ada pesan dari blogger senior yang juga pemerhati masalah Timur Tengah, Bu Muthiah yang berharap agar tetap menulis dalam situasi apapun.
Oh iya Papanda Thamrin Dahlan pun memberikan fasilitas yang bisa di gunakan untuk menerbitkan buku dan itu ber ISBN atau International Standart Book Number, apa sih keuntungan menerbitkan buku ber ISBN? Buku kita telah resmi lho dan berhak memakai barcode yang diakui secara internasional dan bisa mejeng euy di perpustakaan nasional.
Dari wakaf keluarga Petokayo sebuah persembahan untuk dunia literasi dengan hadirnya Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan(YPTD) dengan akta notaris dan Keputusan Menkumham nomor AHU-0013926.AH.01.02 tahun 2019, tanggal 29 Juli 2019.Â