Mohon tunggu...
Her Wanto
Her Wanto Mohon Tunggu... Administrasi - Abstrak

Eska Unggul Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tradisi Saweran sebagai Budaya atau Gengsi?

20 November 2017   10:07 Diperbarui: 20 November 2017   13:46 6056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saweran adalah salah satu rangkaian dari salah satu rangkaian upacara perkawinan adat Sunda. Tata cara perkawinan ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun dari nenek moyang khususnya di tanah pasundan. Sampai saat ini pun masih tetap konsisten digunakan oleh masyarakat Sunda, mengingat prosesinya yang unik dan mengadung petuah-petuah bagi kedua pengantin.

Eit, jangan salah duga yah, saweran di sini bukan seperti saweran saat penyanyi (dalam acara dangdutan) disawer uang oleh penontonnya. Saweran di adat sunda adalah mendudukan kedua mempelai berdampingan, didampingi oleh kedua orang tua dari masing-masing pengantin. Mempelai keduanya dipayungi, lalu sembari diiringi oleh nyanyian sunda yang berisi petuah atau semacam nasihat-nasihat kemudian mereka akan melemparkan kepada hadirin berbagai barang sebagai simbol. Dan warga sekitar akan berduyun-duyun menunggu saat pihak tuan hajat menyebarkan barang tersebut (dalam bahasa sunda disebut Mulung).

Barang-barang yang disiapkan dalam tempat, yang sering disebut Bokor. Isinya terdiri dari uang recehan, beras, irisan kunyit, permen dan lipatan daun sirih. Masing-masing mempunyai makna tersendiri, uang sebagai simbol kemakmuran, beras sebagai simbol kesejahteraan, permen menandakan sepahit apapun kehidupan harus diselesaikan dengan manis, irisan kunyit dianalogikan bahwa kunyit itu bermanfaat sebagai obat dan makanan. Itu berarti seorang istri harus bisa berperan seperti kunyit, bisa memasak dan juga bisa menjadi obat bagi suami dan keluarganya kelak. Lipatan daun sirih diharapkan menjadi simbol agar dalam membina rumah tangga tetaplah harum dan bermanfaat.

Itu sekilas tentang budaya saweran yang sudah berlangsung lama di adat sunda, tetapi budaya saweran juga bisa berarti ungkapan rasa syukur dari insan kepada Tuhannya yang di ekpresikan dengan berbagi kebahagian kepada sesama masyarakat. Wakim Kepala Desa Parereja, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes Jawa tengah mengungkapkan perihal saweran yang sudah lama terjadi di wilayahnya secara turun temurun.

"Saweran adalah sebagai ungkapan rasa syukur warga untuk berbagi dengan warga lainnya, yang diapresiasikan lewat melemparkan sesuatu bisa berupa uang receh, sabun maupun benda lainnya," ungkap Wakim.

Dirinya menambahkan saweran juga bisa bermanfaat bagi warga yang sedang membutuhkan.

"Jadi orang yang mulung dari saweran itu adakalanya sagat bersyukur dengan adanya prosesi dari saweran tersebut, karena di saat dia tidak ada uang karena ada prosesi saweran dia bisa punya uang," tambahnya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Tetapi belakangan ini budaya saweran melebar ke semua acara seperti rasa syukur mendirikan rumah, membeli mobil, sepeda motor, sepeda kayuh, sembuh dari sakit bahkan membeli televisi pun sekarang disawer. Dan merambah kesemuanya bahkan anak diterima atau lulus sekolah pun disawer, khatam qur'an pun disawer.

Dan sekarang yang menjadi prihatin adalah seperti saling bersaing jumlah nominal sawerannya, semakin besar nominal yang disawerkan ke masyarakat menjadi kebanggan tersendiri dari orang yang berhajat (yang melakukan saweran). Barang-barang yang disawerkan bukan hanya uang recehan, kuncit, beras dan lipatan daun sirih. Tetapi uang pecahan sepuluh ribuan bahkan seratus ribuan, sabun cuci, sabun mandi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya bisa digunakan untuk saweran.

Jadi saweran bisa seperti gengsi atau memperlihatkan bahwa si penyawer itu mampu, semakin banyak saweran yang dikeluarkan, semakin mendapat nama dia dimasyarakat. Kadang yang membuat penulis heran adalah sebagian dari mereka ada masyarakat prasejahtera yang memaksakan diri agar jumlah sawerannya besar, tanpa mempedulikan keadaan ekonominya.

Yang kadang menjadi prihatin adalah orang yang mulung kadang tidak menghiraukan barang bawaan mereka saat ada prosesi saweran, mereka dengan mudahnya meninggalkan sepeda motor dengan kunci tergantung, sepeda kayuh main kumprah saja (tinggal taruh) tanpa mempedulikan sisi keamanan dan lainnya. Tidak menghiraukan apakah pengguna jalan merasa terganggu atau tidak mereka seperti tidak peduli.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Terlepas dari semua itu, tergantung penilaian dari individu cara kita menyikapinya dan cara pandang kita melihatnya. Apakah saweran tetap konsisten sebagai Budaya atau gengsi dari si tuan hajat? Yang pasti saweran juga bermanfaat bagi sebagian orang yang sedang membutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun