Saweran adalah salah satu rangkaian dari salah satu rangkaian upacara perkawinan adat Sunda. Tata cara perkawinan ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun dari nenek moyang khususnya di tanah pasundan. Sampai saat ini pun masih tetap konsisten digunakan oleh masyarakat Sunda, mengingat prosesinya yang unik dan mengadung petuah-petuah bagi kedua pengantin.
Eit, jangan salah duga yah, saweran di sini bukan seperti saweran saat penyanyi (dalam acara dangdutan) disawer uang oleh penontonnya. Saweran di adat sunda adalah mendudukan kedua mempelai berdampingan, didampingi oleh kedua orang tua dari masing-masing pengantin. Mempelai keduanya dipayungi, lalu sembari diiringi oleh nyanyian sunda yang berisi petuah atau semacam nasihat-nasihat kemudian mereka akan melemparkan kepada hadirin berbagai barang sebagai simbol. Dan warga sekitar akan berduyun-duyun menunggu saat pihak tuan hajat menyebarkan barang tersebut (dalam bahasa sunda disebut Mulung).
Barang-barang yang disiapkan dalam tempat, yang sering disebut Bokor. Isinya terdiri dari uang recehan, beras, irisan kunyit, permen dan lipatan daun sirih. Masing-masing mempunyai makna tersendiri, uang sebagai simbol kemakmuran, beras sebagai simbol kesejahteraan, permen menandakan sepahit apapun kehidupan harus diselesaikan dengan manis, irisan kunyit dianalogikan bahwa kunyit itu bermanfaat sebagai obat dan makanan. Itu berarti seorang istri harus bisa berperan seperti kunyit, bisa memasak dan juga bisa menjadi obat bagi suami dan keluarganya kelak. Lipatan daun sirih diharapkan menjadi simbol agar dalam membina rumah tangga tetaplah harum dan bermanfaat.
Itu sekilas tentang budaya saweran yang sudah berlangsung lama di adat sunda, tetapi budaya saweran juga bisa berarti ungkapan rasa syukur dari insan kepada Tuhannya yang di ekpresikan dengan berbagi kebahagian kepada sesama masyarakat. Wakim Kepala Desa Parereja, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes Jawa tengah mengungkapkan perihal saweran yang sudah lama terjadi di wilayahnya secara turun temurun.
"Saweran adalah sebagai ungkapan rasa syukur warga untuk berbagi dengan warga lainnya, yang diapresiasikan lewat melemparkan sesuatu bisa berupa uang receh, sabun maupun benda lainnya," ungkap Wakim.
Dirinya menambahkan saweran juga bisa bermanfaat bagi warga yang sedang membutuhkan.
"Jadi orang yang mulung dari saweran itu adakalanya sagat bersyukur dengan adanya prosesi dari saweran tersebut, karena di saat dia tidak ada uang karena ada prosesi saweran dia bisa punya uang," tambahnya.
Dan sekarang yang menjadi prihatin adalah seperti saling bersaing jumlah nominal sawerannya, semakin besar nominal yang disawerkan ke masyarakat menjadi kebanggan tersendiri dari orang yang berhajat (yang melakukan saweran). Barang-barang yang disawerkan bukan hanya uang recehan, kuncit, beras dan lipatan daun sirih. Tetapi uang pecahan sepuluh ribuan bahkan seratus ribuan, sabun cuci, sabun mandi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya bisa digunakan untuk saweran.
Jadi saweran bisa seperti gengsi atau memperlihatkan bahwa si penyawer itu mampu, semakin banyak saweran yang dikeluarkan, semakin mendapat nama dia dimasyarakat. Kadang yang membuat penulis heran adalah sebagian dari mereka ada masyarakat prasejahtera yang memaksakan diri agar jumlah sawerannya besar, tanpa mempedulikan keadaan ekonominya.
Yang kadang menjadi prihatin adalah orang yang mulung kadang tidak menghiraukan barang bawaan mereka saat ada prosesi saweran, mereka dengan mudahnya meninggalkan sepeda motor dengan kunci tergantung, sepeda kayuh main kumprah saja (tinggal taruh) tanpa mempedulikan sisi keamanan dan lainnya. Tidak menghiraukan apakah pengguna jalan merasa terganggu atau tidak mereka seperti tidak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H