Mereka makin sering bicara. Lantang dan menantang. Bang Ali, apa yang engkau berikan secara konkrit buat kami, warga Sidoarjo yang terkena Lumpur Lapindo?
Katanya. Terus terang, kami tidak butuh tulisan dalam bukumu. Kami tidak butuh acara diskusi yang digelar seperti ini. Bagi kami, tidak ada gunanya sama sekali. Titik!
Katanya. Saat ini, kami hanya butuh kepastian, kapan pelunasan ganti rugi dapat dilakukan dengan segera. Dapatkah Anda memberikan kepastian itu?
Katanya. Kami sudah tidak peduli lagi, uang pelunasan itu berasal dari mana. Entah, uang dari Aburizal Bakrie, dari APBN, atau bahkan uang dari jin, siluman, setan atau iblis sekalipun. Kami tidak peduli. Titik!
Mereka sering berkata. Mengancam. Pesan kami, jangan lagi politisasi Lumpur Lapindo demi kepentingan politik apapun. Kami sudah muak atas semuanya. Titik!
Katanya. Kami minta tanggung jawab terhadap Anda dan orang-orang yang terus mempermasalahkan Lumpur Lapindo, mempolitisasi kasusnya demi kepentingan politik siapapun. Kami akan tuntut tanggung jawab Anda. Dengan cara apapun!
Mereka terus melakukannya. Di manapun acara diskusi itu berlangsung. Mereka datang, beramai-ramai, bahkan tanpa diundang. Secara terang, mereka nyatakan ketidaksetujuan dengan penuh kebencian.
Mereka solah tutup mata. Bahwa apa yang diperjuangkan oleh Bang Ali adalah sejalan dengan kepentingan warga korban. Yakni, sesegera mungkin, masalah warga korban Lumpur Lapindo memperoleh solusi, agar mereka segera bisa hidup normal kembali.
Bedanya, dalam hal cara saja. Bang Ali, selalu katakan boleh negara keluarkan uang, asalkan aset milik keluarga Bakrie telah dijaminkan untuk penggantiannya. Ini sesuai dengan prinsip strict liability, dimana suatu peristiwa yang disebabkan oleh tindakan industri ekstraktif, seperti perusahaan migas, harus diperlakukan secara khusus, dalam hal pertanggung jawaban atas segala sesuatu yang menyebabkan kerugian, baik secara sosial, ekonomi, atau lingkungan.
Tanggung jawab Lumpur Lapindo, sepenuhnya adalah para pemilik modal Lapindo Brantas Inc, dimana keluarga Bakrie merupakan pemegang saham mayoritas.
Justru inilah, cara yang amat ditakutkan oleh keluarga Bakrie. Pertanggungjawaban atas kesalahan akan menjangkau hingga semua aset pemilik modal Lapindo Brantas Inc, melalui PT Energy Mega Persada (EMP). Sebuah harga yang pantas dan harus dibayar, dari sebuah kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, bahkan tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan penutupan semburan, kecuali hanya berupa permainan basa basi semata.
Mengapa? Karena, jika semburan itu bisa ditutup, jelas akan membuktikan adanya kebohongan. Bahwa Lumpur Lapindo sejatinya bukanlah fenomena alam, akibat gempa bumi, namun benar-benar akibat kesalahan prosedural yang dilakukan secara sengaja.
Ah, sayangnya. Lembaga pendidikan tinggi di Bandung yang sangat bersejarah dalam pergerakan kemerdekaan nasional pun melakukan hal yang hampir senada.
Bang Ali Azhar Akbar, adalah salah satu alumni Teknik Perminyakan di kampus yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda itu. Sejatinya, buku yang ditulisnya, “Lumpur Lapindo File, Konspirasi SBY-Bakrie” bukanlah buku politik.
Keberaniannya untuk hadir di sejumlah kampus, termasuk di kampus almamaternya sendiri, adalah bagian dari bentuk pertanggungjawabannya secara akademik dan ilmiah. Menurutnya, buku yang separuhnya berisi lampiran data dan referensi yang kebanyakan belum terpublikasi, amat butuh tinjauan dari berbagai kalangan, terutama kaum akademisi, agar memperoleh masukan, kritik dan saran, atas tesis utamanya.
Bahwa peristiwa Lumpur Lapindo bukanlah fenomena alam akibat gempa bumi di Jogja, dua hari sebelumnya sebagaimana klaim pemerintah dan DPR yang telah memperalat sejumlah ahli geologi untuk mengamini kehendak pemilik modal dan pemegang kekuasaan.
Menurut Bang Ali, ada indikasi kuat bahwa pengingkaran atas fakta operational default dalam teknik pengeboran yang mengakibatkan semburan Lumpur Lapindo, dilakukan secara sengaja dan berlangsung secara sistematis. Ia menyimpulkan, ada konspirasi nyata antara SBY dan Aburizal Bakrie dalam hal rekayasa alasan teknikal, rekayasa hukum dan rekayasa politik, sehingga Lumpur Lapindo terus menyembur, yang telah menghabiskan dana APBN lebih dari Rp 7,1 triliun.
Sayang. Oleh pihak kampus, BEM ITB dilarang selenggarakan diskusi yang dianggap berbau politik itu di kampus Ganesa. Untungnya, masih ada kelompok mahasiswa lain, dari berbagai kampus di Bandung, termasuk mahasiswa ITB sendiri yang masih bersedia menyelenggarakannya. Meski, semua atribut, antara lain berupa spanduk, baligo dan backdrop harus dicabut dari tempatnya, tanpa ampun. Satpam kampus pun ikut “memboikotnya”.
Saat itu, sang penulis buku ..... entah mengapa, tidak bisa hadir. Media massa menyebutnya, ia hilang. Apa yang sebenarnya terjadi? Belum tahu persis. Satu hal yang pasti, saya dapat ikut memastikan, bahwa ketidakhadirannya, sama sekali bukanlah bagian dari bentuk strategi promosi buku!
Oooh... Andai, Bung Karno tahu. Tentu, beliau sebagai salah seorang alumninya akan sangat bersedih. Kemerdekaan telah hampir 67 tahun diraih, namun perilaku kolonialisme, ternyata masih terjadi di negeri ini.
Akhirnya..... Terima kasih Kompasiana, terima kasih teman semua. Sudah setahun, saya telah menjadi bagian dari keluarga, bersama Anda...
Salam tertawa bahagia.. Hahahahahahahahahhaahahahaha....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H