Hati si Topeng sedang berbunga-bunga. Tulisannya yang berjudul Republik Dengkul, Politisi Ngibul, Lebih Baik Macul !!! ternyata terpilih sebagai Headline (HL) di Kompasiana. Wah, wah... inilah, tulisan si Topeng yang pertama kalinya menjadi HL selama bergabung di Kompasiana. Bahkan, boleh jadi tulisan itu akan merupakan satu-satunya tulisan HL si Topeng sepanjang hidupnya, dan mungkin untuk selama-lamanya. Hahahahahahahaha....
Keesokan harinya, masih dengan penuh gaya dan bangga si Topeng berkunjung ke rumah Kyai Gendheng untuk berbagi cerita.
“Peng.. Peng.... Tulisan ngawur gitu, kok masuk HL. Hahahahahahahahahahaha...”
“Tapi, dibaca oleh ribuan pembaca, Guru....”
“Terus...”
“Katanya, banyak telinga penguasa menjadi berwarna merah menyala, guru...”
“Hahahahahahahahaha... kamu bisa saja ngarang cerita, Peng”
“Maksudnya, Guru ?”
“Peng... Peng.Kamu ini, bagaimana toh..... Mereka, para penguasa itu sudah paham tanpa harus baca tulisanmu itu, Peng”
“Mereka boleh paham, Guru. Tapi, saya belum paham kata-kata Guru...”
“Hahahahahahahaha... Tulisan sudah HL, kok kamu masih saja bodoh dan lugu. Peng... Peng. Kok, kamu pelihara terus ya... hahahahahahaha.....”
Untuk sementara, si Topeng tidak berkomentar lagi. Pikirannya kusut, wajahnya cemberut, dan telinganya pun ikut mengkerut karena terus-menerus mendengar sang Guru tertawa terbahak-bahak.
“Peng, para penguasa itu paham. Kalau korupsi adalah penghambat bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Mereka itu paham, hanya di negara yang rakyatnya masih banyak miskin dan kurang sejahtera, praktek korupsi itu bisa merajalela. Mereka benar-benar sangat menikmatinya, Peng !”
“Begitu ya, Guru ?”
“Hah... baru mudheng, kamu Peng. Hahahahahahaha...”
“Jadi, susah ya Guru, berharap banyak dari para penguasa ?”
“Hahahahahahaha.. Sekarang, berharap banyak dari masyarakat juga susah, Peng”
“Kok, bisa susah ya, Guru ?”
“Peng, masyarakat kita ini sudah pada egois. Tahu kamu, apa itu egois, Peng ?”
“Tidak tahu, Guru”
“Hahahahahaha... ya sudah, kamu dengarkan saja !”
Lalu, Kyai Gendheng menjelaskan tentang masyarakat yang cenderung egois itu. Katanya, mereka hanya mau peduli dengan kesenangannya sendiri. Tak peduli, apakah tetangga, teman atau orang-orang terdekat di sekitarnya sedang susah atau tidak. Bahkan, kata Kyai lagi, mereka pun egois untuk memborong sejumlah kavling di surga.
“Untuk siapa kavling surga itu ? Ya, kalau bisa hanya untuk anggota keluarganya saja, untuk istri, anak, cucu, cicit hingga keturunan yang ke tujuh”
Si Topeng hanya bisa berdecak mulut dan menggeleng-gelengkan kepala. Sesekali, kepalanya dianggukkan berulang-ulang seolah ingin menunjukkan bahwa ia paham benar apa yang diucapkan oleh sang Guru.
“Peng, mereka telah lupa kunci surga yang sesungguhnya”
“Apa itu, guru ?”
“Kunci surga ada pada mereka yang diabaikan itu, kaum miskin dan anak yatim”
“Tidak paham, Guru”
“Ya sudah, dengarkan saja !”
“Baik, Guru..”
“Peng, ada jalan yang mendaki dan berat untuk dilalui. Namun, jalan itu merupakan jalan terbaik untuk menuju surga”
“Jalan apakah itu, Guru ?
“Jalan ini bukan untuk kamu, Peng. Tapi, untuk mereka yang kaya dan mampu”
“Baik, Guru..”
“Jalan yang pernah dipilih oleh para sahabat Nabi. Mereka, antara lain Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang rela melepas harta mereka, hingga ratusan onta yang dimilikinya. Hanya sekedar untuk membebaskan orang-orang, seperti Bilal, Amr bin Yasir, dan Zaid bin Tsabit, yang terbelenggu perbudakan untuk menjadi merdeka”
“Tapi, sekarang kan sudah tidak ada perbudakan, Guru ?”
“Belenggu semacam itu masih ada. Untuk saat sekarang, bebaskan mereka yang terbelenggu dari kemiskinan !”
Si Topeng tampak semakin serius mendengarkan penjelasan dari Kyai Gendheng. Sesekali, pikirannya pun sempat hendak menggugat. Bukankah, dirinya sendiri adalah termasuk kelompok orang yang perlu dibebaskan dari belenggu kemiskinan itu. Hmm... si Topeng tidak berani mengucapkannya secara langsung kepada sang Guru.
“Begitulah, Peng. Tolong ya, kata-kata saya itu dituliskan, lalu dimuat di Kompasiana”
“Maaf, Guru. Sekarang sudah tidak bisa.”
“Apa, Peng ?... Kenapa tidak bisa, Peng ?”
“Maaf, paket unlimited-nya sudah habis, Guru..”
“Apa, Peng ? Hahahahahahahahahaha......”
Tanpa sadar, si Topeng pun langsung ikut tertawa, seolah tak mau kalah. Hahahahahahahahaha....***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H