Seorang buronan KPK berkata,“saya tidak menikmati uang negara sepeserpun, sungguh saya hanyalah menjadi korban persekongkolan..”. Namun, waktu yang sekejap telah membuatnya berubah, mengakui kesalahan dan hendak menyeret siapa saja yang dianggap telah terlibat dan pernah sama-sama menikmatinya.
Seorang pimpinan partai politik berkata,“ia telah mencemarkan nama baik saya, sungguh saya tidak tahu menahu atas semuanya...”. Namun, fakta-fakta berbicara kian tak terbantah, haruskah Tuhan diminta untuk menjadi saksi juga?
Seorang anggota legislatif berkata,“tunjukkan buktinya kalau memang kami terlibat perbuatan korupsi, janganlah suka menuduh kami tanpa ada alat bukti...”. Namun, satu persatu kejahatan mereka akhirnya terbongkar juga, dengan wajah-wajah mereka yang terlihat sedang bertarung seru antara sok gagah berani dengan perasaan sangat malu sekali.
Seorang Menteri berkata,“ia telah mencatut nama saya, percayalah saya tidak tahu menahu tentang apa yang dilakukan oleh mereka...”. Namun, logika yang paling sederhana sangat mudah untuk mementahkannya, proyek miliaran rupiah merupakan bagian keuntungan yang sangat menggiurkan.
Seorang Presiden berkata,“saya akan berada di garda paling depan dalam memerangi korupsi...”. Namun, tampaknya ia kian tertatih-tatih untuk membuktikan kebenaran kata-katanya sendiri.
Haruskah politik selalu tersaji dengan penuh intrik dan kebohongan yang kotor dan sangat keji? Politik, sejatinya merupakan kepanjangan dari idealisme, visi dan misi yang jelas, serta sikap bijak dan kenegarawanan para pelakunya. Politik, seharusnya menjadi solusi yang elegan dari segala kebuntuan ketika kepentingan berbeda di tengah kemajemukan latar belakang.
Politik, kini telah menjadi ajang pertunjukkan yang telanjang tentang aksi tipu menipu, dan segala cara kebohongan demi kebohongan untuk menutupi bau bangkai yang telah diperbuat oleh mereka.
Politik, kini bukan lagi mengabdi demi kepentingan seluruh rakyat di negeri ini. Namun, kini telah berubah hanya mengabdi demi kepentingan jahat yang sempit, demi kepentingan pribadi dan kelompok partainya sendiri.
Salahkah, bila rakyat kini sangat membenci para politisi? Mereka seolah sedang menari di atas gelimang fasilitas dan harta negara yang tak berhati nurani. Mereka anggap rakyat masih bisa dengan mudah untuk dikibuli. Tuhan pun dianggap tidak ada untuk sementara, untuk kemudian hendak disuap untuk meminta pertobatannya.
Sungguh, benarkah? Mereka sebenarnya telah menipu diri sendiri. Kemuliaan dan harga diri ditukar dengan secuil kenikmatan duniawi yang berlangsung cuma sesaat. Kesengsaraan biarlah hanya dinikmati oleh mereka yang bernama rakyat.
Seorang koruptor berkata,”ikutlah menjadi edan, bila tidak...., kamu tidak akan kebagian....”. Katanya, semua hanyalah bagian dari pilihan....
Si Topeng berkata,”saya hanya sedang belajar bermonolog saja.......”. Sambil diselingi tepuk tangan, ia pun terus tertawa. Prok...Prok..Prok..Prok..Prok...!!! Hahahahahahahahaahahahahahahaahaha.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H