Sungguh sebuah bentuk persuasi Tuhan yang sangat mengagumkan. Salah satu bentuk kasih sayang Tuhan atas mahluknya. Mengapa ? Karena, toh sebenarnya puasa itu dibutuhkan oleh manusia sendiri, demi kepentingan dirinya sendiri. Tuhan, sejatinya sama sekali tidak memerlukan puasa yang dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, seandainya manusia telah memahami bahwa puasa adalah kebutuhan yang sangat penting bagi dirinya, maka anjuran persuasif dari Tuhan bukanlah menjadi bagian yang terpenting lagi. Pahala, bukan lagi menjadi sesuatu yang harus dikejar dan ditumpuk-tumpuk hingga menjulang tinggi untuk mencapai surga. Begitu pun, dosa bukan lagi sesuatu yang harus dihindari karena ketakutan atas api neraka. Kecuali bagi anak kecil yang masih perlu proses pembelajaran pada tahap awal, atau mereka yang sudah dewasa, namun mentalitas spiritualnya masih belum beranjak dari usia anak-anak kecil mereka.
Memang, sudah saatnya kita bisa berpuasa secara lebih dewasa. Bahwa berpuasa adalah bagian dari penempaan diri dalam meningkatkan kemampuan menahan diri, atau mengendalikan diri sebagai bentuk dari hubungan yang baik dengan Tuhan. Bahwa puasa, hakikatnya adalah memulihkan kembali kondisi hati nurani yang telah sempat terkotori.
Sebagai sebuah bagian dari siklus hidup manusia, maka puasa merupakan bagian dari upaya memelihara kefitrahan manusia. Meminjam istilah sastrawan Dante dalam buku syairnya Divina Comedia, melalui kutipan Cak Nur (Almarhum Nurcholish Madjid), disebutkan bahwa manusia memulai hidup dalam alam kebahagiaan, alam paradiso, karena manusia menurut Islam dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Namun, karena kelemahannya sendiri, manusia mengalami pengotoran hati nuraninya, sehingga lama-kelamaan akan jatuh dan terseret ke alam kesengsaraan, alam inferno. Maka, datanglah bulan Ramadhan sebagai rahmat Allah kepada manusia, untuk memberi kesempatan membersihkan diri dan bertobat, dan inilah proses di alam purgatorio.
Dengan asumsi bahwa proses itu dijalaninya dengan baik dan sukses, maka pada akhir Ramadhan manusia akan kembali ke alam kesuciannya sendiri, yaitu fitrahnya, yang membawa kebahagiaan, masuk lagi ke alam paradiso. Kebahagiaan inilah yang dilambangkan dalam Hari Raya Lebaran, sebagai simbol kebebasan dari dosa, pada hari Idhul Fitri. 'Id Al-Fithr",berarti kembalinya fitrah manusia.
Selanjutnya, usai sholat Idul Fitri dilakukan upaya memperkuat siltaurahmi (silat al-rahm), yang berarti tali hubungan kasih sayang antar sesama manusia. Ucapan salam yang berasal dari doa min al aidzin wa al faidzin pun selalu terlontar saat bertemu dengan sesama. Ucapan yang populer saat berlebaran itu merupakan kependekan dari doa "fa 'ala-na l-Lah-u min al aidzin wa alfaidzin wa al maqbulin", yang berarti semoga Allah menjadikan kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah kesucian), dan beruntung, serta diterima (segala amal perbuatan kita).
Istilah paradiso, yang sepadan dengan kata firdaus dalam bahasa Arab, yang berarti juga surga, adalah pola kehidupan bahagia yang digambarkan dengan penuh kedamaian. Maka, surga pun disebut sebagai Dar Al-Salam (dibaca : Darus Salam), yang berarti "Negeri Perdamaian" (Q.S. 6:127 dan Q.S. 10:25). Sesama penghuni surga saling menyapa dengan ucapan "salam, salam", yang berarti "Damai, damai...". Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, yang intinya adalah kedamaian.
Secara individual, makna kedamaian dalam hati selama bulan puasa diungkapkan melalui turunnya malam Lailatul Qodar, malam yang dianggap lebih baik dari seribu bulan. Melalui kegiatan puasa, hati seseorang diharapkan akan mengalami kedamaian, dimana malam Lailatul Qodar merupakan saat yang paling tepat terjadinya kalibrasi atas kedamaian hati. Hanya mereka yang hatinya benar-benar damai, yang akan merasakan kedamaian yang sangat luar biasa saat malam Lailatul Qodar menghampiri, hingga terbit fajar.
".... Tahukah engkau, apakah (malam) Lailatul Qodar itu ? (Malam) Lailatul Qodar itu lebih baik baik daripada seribu bulan. Turunlah para malaikat dan ruh (Jibril) pada malam itu dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur tiap-tiap urusan. (Dalam keadaan) DAMAI-lah malam itu, hingga terbit fajar" (Q.S. 97:2-5)
Kedamaian, memang bukan hanya inti dari kebahagiaan hidup manusia. Bahkan, kedamaian adalah inti dari prasyarat seorang manusia saat hendak beralih secara baik-baik dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat, melalui pintu kematian. Hanya manusia yang hatinya TENANG dan DAMAI-lah yang akan disambut oleh Tuhan menjelang kematian, untuk menuju surga-Nya.