Begitupun di dunia pariwisata, perhotelan, retail sampai F&B. Saya berani taruhan bahwa kalian pernah menyaksikan atau bahkan mengalami sendiri diperlakukan berbeda dengan para bule mancanegara. Kita seolah-olah menjadi pesakitan di negeri sendiri.
Apakah semua ini adalah ujaran kebencian? Tidak. Apakah ini adalah upaya untuk menghasut? Kampanye hitam untuk sebuah golongan? Tidak. Semua ini adalah bentuk keresahan absolut dari seorang anak bangsa.
Sebuah Kegagalan Konsep Hermeneutika?
Pernyataan "memperbaiki keturunan" sesungguhnya bukanlah hal yang asing bagi saya. Istilah tersebut sepertinya sudah menjadi warisan sosial dari beberapa generasi pendahulu kita.Â
Sebagian dari kita mengamini pernyataan tersebut. Sebagian menganggapnya sebagai bahan gurauan. Namun ada sebagian lagi yang menentang dan saya termasuk salah satunya. Kenapa? Karena patut disadari bahwa secara tidak langsung pernyataan tersebut sama saja dengan:
* Merendahkan dirimu sendiri secara fitrah
* Menghina orang tuamu sendiri
* Memandang rendah suku bangsa sendiri
Lalu klimaksnya adalah:
* Menistakan ciptaan Tuhan
Iri Bilang Bos? Salah Besar, Idiot
Lalu "perbaikan keturunan" seperti apa yang diharapkan? Dengan melahirkan anak-anak blasteran dan menjadikan mereka konten di media sosial? Atau berharap mereka semua akan menjadi bintang iklan/sinetron dan otomatis menaikkan level diri sendiri secara strata kelas sosial?
Coba luangkan waktu sejenak untuk mencari informasi tentang kehidupan dari kasta Dalit di India. Sebagai bahan renungan agar kita semua lebih bersyukur dilahirkan sebagai orang Indonesia.
Pada akhirnya, saya lebih menerima alasan perbaikan ekonomi atau sekadar ingin tinggal di luar negeri di balik keputusan menikahi bule, ketimbang usaha memperbaiki
keturunan.
Mengutip pandangan dari beberapa vlogger luar negeri: