Seorang pria asal Inggris, Pat Long, tercatat pernah menderita salah satu kasus deja vu terburuk yang pernah ada. Pada usia tiga puluhan, Pat didiagnosis menderita tumor otak seukuran lemon setelah menderita serangan epilepsi. Bagi kebanyakan dari kita, deja vu tidak lebih dari sebuah momen yang berlangsung tidak lebih dari satu atau dua detik. Apa yang dialami Pat adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Disebut sebagai deja vecu, yang berarti 'pernah hidup'.
Seperti namanya, deja vecu berarti dia percaya bahwa dia telah menjalani seluruh rangkaian peristiwa tersebut sebelumnya. Perasaan itu begitu kuat dan bertahan hingga berminggu-minggu lamanya. Dia hampir tidak dapat membedakan antara pengalaman masa lalu dan masa kini. Seluruh ingatan, halusinasi, dan produk imajinasinya sendiri saling bertukar tempat dan tumpang-tindih satu sama lain.
Menurut sebuah studi pada tahun 2014 yang dilakukan di University of St Andrews di Skotlandia, deja vu mungkin sebenarnya adalah bentuk kegagalan neurologis dalam melakukan fungsi resolusi konflik untuk mencegah terbentuknya ingatan palsu. Sebagai bagian dari percobaan, peneliti menggunakan teknik word association. Para partisipan diperlihatkan sejumlah kata-kata tertentu dan secara efektif membentuk "false memories" yang sederhana. Ketika ditanyai kembali tentang ini, sekitar dua pertiga dari para peserta melaporkan mengalami efek deja vu.
Menariknya, pemindaian MRI otak mereka menunjukkan bahwa aktivitas tersebut tidak terjadi di hippocampus (bagian otak yang bertanggung jawab atas memori), tetapi di frontal cortex (bagian otak yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan). Para peneliti berteori bahwa deja vu dialami saat otak berusaha menyelesaikan konflik antara apa yang sebenarnya dilihat oleh para partisipan, dan apa yang mereka pikir telah mereka lihat. Hipotesis sementara menyimpulkan bahwa deja vu bisa jadi adalah perasaan yang datang ketika sesuatu yang kita alami saat itu/sekarang mirip dengan salah satu kenangan yang "hilang" tapi "tidak terlalu dilupakan".
Sampai saat dirilisnya tulisan ini dunia sains masih belum bisa secara konkrit menyimpulkan apa penyebab pasti dari fenomena deja vu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H