Ya, aku adalah satu di antara ribuan orang yang mengidap sindrom yang cukup langka ini. Reaksi alergi pada minuman beralkohol aku alami pertama kali ketika usia 13 tahun. Saat itu iseng mencicipi segelas bir milik seorang paman di sebuah acara keluarga. 30 menit kemudian badan mulai terasa aneh.Â
Tak butuh lama untuk sensasi panas dan gatal-gatal mulai terasa menjalar. Puncaknya adalah munculnya ruam-ruam dan biduran di sekujur tubuh. Dari mulai wajah sampai ke sisi dalam lipatan paha.
Malam itu "sukses" ku lalui dengan sebutir antihistamin dan rasa meriang yang tak keruan.
Patut dicatat bahwa jumlah penderita sindrom ini tak sebanding dengan jumlah mereka yang alergi pada seafood atau kacang-kacangan. Walaupun sudah banyak artikel dalam dan luar negeri yang sejak lama menulis tentang ini dan dapat mudah diakses via Google. Sepanjang pengalaman pribadi aku hanya pernah bertemu segelintir orang yang mengidap sindrom ini.
Beragam jenis respon aku terima di kehidupan sosial dengan santai. Dari mulai reaksi tidak percaya seolah aku mengada-ada, sampai mereka yang secara berkelakar berupaya "bullying" secara verbal. Namun, kebanyakan dari mereka rata justru malah menunjukkan gestur iba.Â
Padahal, sejujurnya aku justru bersyukur. Alergi minuman berakohol adalah sebuah "blessing in disguise". Mengingat di agama saya zat tersebut termasuk yang diharamkan untuk dikonsumsi.
"Lo bisa gitu tahan gak minum walaupun yang lain pada minum?", tanya seorang teman pada sebuah kesempatan.
"Gue lebih tahan di-bully daripada mesti biduran", jawab saya.
Mari perbanyak literasi.
- Topaz Aditia.
(*) In Memoriam: Tara Yvette Hobbs dan Christopher Randall Larrabee kedua kawan yang menjadi korban dalam tragedi WTC 911.