Melambai-lambai dijilati angin. Melenting dan rapuh
disepuh matahari hingga april. Riwayat jemuran datukdatuk
mencari pengikut. Teror lindap di celah-celah rumput. Corong
teropong saling beradu meraba kosong. Menyorot aroma
mulutmu. Penyamun ganti baju, berharap tuah nomor
punggung keramat.
Melambai berjinak-jinak dengan angin. Berharap habis gelap
terbitlah terang. Jika april ditakdirkan kemarau berangin
jemuran kering. Kenduri berjalan sesuai rencana. Terpilih
datukdatuk yang disumpah malaikat. Yang kecundang meratapi
jemuran, tertawa sendiri diam menyepi. Jika cukup cerdas
ia dapat merangkai puisi patah hati.
Melambai bergelantungan warna-warni. Takdir jemuran
berakhir menjadi tumpukan kain perca. Itulah yang terjadi
sejak sayang di sayang tahun 1955. Datukdatuk datang pergi
terlempar dari kursi berhias demokrasi. Lihatlah, rumput kering
jemuran menjadi perca. Atas nama UUD 1945, kau dan aku
adakah disana?
***
Topan Wahyudi Asri,
Sijangkung – Kalimantan Barat.
(230314)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H