Betapa aku mencintai negeri ini, alamnya subur
dengan gugusan pulau yang menjamur. Tak terukur
betapa sayangnya aku, coba saja engkau tajur
kail, pastilah mudah di sambar hiu. Atau kau tabur
jala, maka ragam ikan terjaring serta menggelepar
memohon ampunlah mereka, hatimukan tergetar!
Jika laut berkecamuk, pergilah meneroka belantara rimba
berbekal ketajaman indera. Rasakan dengan seksama
irama derak pohon tumbang dan rima dari mata
gergaji mesin yang menggema. Sungguh, dahsyatnya
membangkitkan bulu-bulu roma.
Pasti telah kau nikmati lautan dan rimba raya kami, sambil
bersiul. Jika masih tersisa waktu, coba sapa petani dekil
di sawah ladang membentang milik tuan-tuan. Mata cangkul
mereka semakin tumpul, sebab beradu batu dan tunggul
sambil di temani isteri serta buah hati.
Ini kali coba kau dekati dan bicara dengan mereka, dari
hati ke hati. Atau jika si petani enggan berkisah, hampiri
atau lemparkan tanya pada bocah-bocah yang berlari
seperti tengah melihat roti. Dengan canting ia kerumuni
dan sentuh hatimu, tanyakan saja padanya! Jika nanti
besar ingin jadi apa. Mata merekapun berputar, pasti
jawabnya seragam, “jadi gatot kaca atau seorang peri.”
Betapa aku sayang negeri ini, orang-orangnya ramah
dengan penduduk yang berlimpah ruah. Tiada pernah lelah
mereka memijah kerikil dari penampian beras. Tetap sumringah
para pembesarnya pada kilatan cahaya serta layar-layar kaca
walau sedang mengenakan seragam tersangka. Olala…
sungguh tiada beda kasta, antara penjara dan istana.
Tiada sekalipun aku membenci negeri ini. Kedai-kedai kopi
di jejali gelak tawa pemimpi. Begitupun saat langkah menjejaki
birokrasi, damai hati ini di dodoi melodi basa-basi. Perempuan – lelaki
piawai mereka menari di lantai licin, kemudian esok paginya ramai
orang berkerumun, sambil menatap bayi-bayi meraung menyayat hati
di tumpukan sampah. Ada juga yang membesi, sebab kempunan ASI.
Betapa aku semakin cinta negeri ini. Gemah ripah loh jinawi
bagi penyair melantunkan berjuta puisi. Mungkin satu yang ku benci
manakala hatiku patah oleh kataku sendiri.
---------------------------------------------------
***
Topan Wahyudi Asri,
Sijangkung – Kalimantan Barat.
Indonesia (2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H