Ide demokrasi terlahir dalam benak manusia yang merujuk pada satu kosakata yakni kebebasan. Kebebasan pada mulanya dinilai sebagai sesuatu yang menakutkan bagi  para tokoh feodal, karena bagi mereka kosakata tersebut dianggap akan bebas dari ikatan-ikatan atau ketiadaan terhadap segala ikatan. Baik ketiadaan terhadap kewajiban atas aturan-aturan kerajaan maupun gereja.Â
Namun pandangan itu pada akhirnya dapat dikalahkan oleh kekuatan yang disebut kedaulatan rakyat. Kebebasan kemudian dikonstruksikan pada wilayah kemasyarakatan, yang kemudian menjadi ide bahwa kebebasan tidak bisa lagi dinilai secara sederhana atau pendek akal seperti itu, tidak semata-mata bebas dari ikatan, namun ide kebebasan dianologikan menjadi sebuah prinsip penentuan atas kehendak sendiri. Ini yang kemudian menjadi dasar pemikirian seorang ahli hukum sekaligus filsuf dari Austria ialah Hans Kelsen mengenai demokrasi. Â
Ide kebebasan dalam konteks bermasyarakat ini sebetulnya sejalan dengan pemikiran cendikiawan muslim yakni Farabi, tentang kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari aktivitas bermasyarakat sebab pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Dalam bingkai teori politik, demokrasi juga lebih menekankan pada unsur masyarakat sebagai sebuah variabel.Â
Demokrasi menjamin suara mayoritas dan suara minoritas, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Pandangan ini yang akhirnya melahirkan bahwa suara mayoritas tidak bisa menciptakan dominasi absolut, yang artinya tidak boleh ada kediktatoran atas dasar suara mayoritas terhadap suara minoritas. Prinsip mayoritas dalam masyarakat demokratis hanya dapat dijalankan jika segenap warga masyarakat dalam sebuah negara diperbolehkan turut serta dalam pembentukan tatanan hukum.Â
Oleh karenanya, yang menjadi ukuran ada tidaknya sebuah demokrasi dalam sebuah negara bukan ditentukan oleh tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta proses di lapangan. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan begitu benar yang dikatakan Rousseau bahwa jikalau menempatkan demokrasi secara kaku dan ideal, tidak akan pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.
Saat ini, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang memungkinkan akan mengalami putar balik menuju otoritarianisme. Hal ini bersandar pada data dari The Economist, yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia mengalami stagnan. Skor Indonesia tetap di angka 6,71 pada tahun awal Februari 2022 dan belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed democracy).Â
Lanjut data Freedom House juga menunjukkan penurunan angka dari 59/100 pada 2022 menjadi 58/100 pada 2023. Penyempitan ketersediaan ruang publik menjadi penyebab rendahnya nilai tersebut. Dalam kondisi ini, Indonesia juga belum bisa memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong sebagian bebas (partly free).
Hal ini berdampak juga pada ruang-ruang pemilihan pemimpin di Indonesia, kedaulatan rakyat masih jauh dari peran partisipatif. Setiap kali menjelang pemilihan, rakyat Indonesia selalu disodorkan kandidat-kandidat menurut baiknya partai politik. Hal yang paling krusial adalah masih tegaknya Presidential Threshold 20%, aturan ini merupakan sebagai upaya pemerintah untuk menyumbat suara rakyat dan membatasi kebebasan rakyat dalam menghadirkan pemimpin yang hasil dari kedaulatan rakyat.
Keadaan ini menyaksikan bahwa rakyat telah disetir oleh pemerintah, rakyat tidak mampu mencari pemimpin yang layak. Rakyat seperti ditempatkan pada politik membeli kucing dalam karung. Pemerintah untuk rakyat merupakan perbudakan semu, kita harus kembali pada konsep kepemerintahan oleh rakyat dengan memiliki pemimpin menjunjung kedaulatan akal, konsep kesetaraan dan paham tentang rule of law.
Kita harus mencegah kepemimpinan di Indonesia jatuh pada orang-orang yang memiliki pemikiran feodal, pemikiran feodal berbahaya pada sistem demokrasi, sebab ia sangat berdekatan dengan corak fasisme. Dan akan mempengaruhi pandangan nasionalisme yang cenderung akan menjelma menjadi chauvinisme. Ini yang menyebabkan juga tersendatnya laju demokrasi secara internasional.