Akhir agustus tahun ini dijadwalkan akan tayang film yang berjudul "uang panai". Dari judulnya film garapan anak Makassar ini akan mengangkat masalah "uang panai" yaitu sejumlah uang yang diserahkan calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita di luar mahar.
Seperti kita ketahui selama ini "uang panai" menjadi momok bagi para jones. Mahalnya "uang panai" yang kadang-kadang sampai selangit tak jarang menjadi tembok penghalang niat suci untuk segera menikah. Ini sudah tidak sesuai dengan pernikahan yang dianjurkan. "Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah".
Di sini "uang panai" yang konon katanya adalah budaya Bugis-Makassar terkesan menyulitkan niat para jones untuk segera menikah. Ketika "uang panai" menjadi salah satu penentu jadi tidaknya seseorang untuk menikah. Di sinilah saya pribadi tidak sependapat dengan budaya "uang panai" itu sendiri. Besarnya jumlah "uang panai" adalah hasil kesepakatan antara keluarga pihak perempuan dan pihak laki-laki. Di sinilah ketika tidak ada kesepakatan sering kali rencana pernikahan menemui jalan buntu bahkan tak jarang karena persoalan besarnya "uang panai" itu sehingga rencana untuk segera menikah tidak terlaksana.
Parahnya lagi tak jarang dalam menentukan besarnya "uang panai" didasarkan pada faktor gengsi. Gengsi ketika jumlahnya lebih sedikit dari tetangga/keluarga yang terlebih dahulu telah melangsungkan pernikahan. Besarnya "uang panai" juga mengalami kenaikan tiap tahun. Hahaha kayak bbm aja yah. Wajarlah ketika anak-anak Makassar yang kreatif menciptakan lagu yang liriknya nyindir banget. Liriknya kurang lebih seperti ini "bbm naik harga daging jg naik, daging Becce juga ikut naik". Bahkan dalam lirik lagu tersebut menyarankan Becce dipajang ditoko saja. Hahaha. *Becce adalah nama perempuan
Adalagi, kalo mau protes masalah budaya "uang panai" protes ke nenek moyang. Katanya. Suruh hidup lagi tuh nenek moyang biar saya bisa protes. Kataku.
Saya pernah membaca salah satu tulisan yg membahas mahalnya "uang panai". Dalam tulisannya penulis mengatakan mahalnya uang panai berawal ketika jaman penjajahan belanda. Pada saat itu penjajah (belanda) seenak jidad menikahi gadis Bugis-Makassar tanpa syarat bahkan katanya tanpa mahar. Ketika mereka (belanda) menemukan gadis baru yang lebih mulus (mulus-udah kayak jalan tol aja yah) mereka dengan mudahnya meninggalkan istri dan menikahi gadis baru. Nah sepeninggal penjajah kebiasaan seperti itu dipertahankan oleh para pemuda Bugis-Makassar.Â
Berawal dari situ muncullah ide memberikan syarat yang berat untuk meminang seorang wanita Bugis-Makassar. Katanya biar lebih bertanggung jawab.
Hmmmm bukankah sekarang kita tidak lagi dijajah seperti dulu. Kalau memang benar demikian budaya "uang panai" tidak lagi pantas untuk dipertahankan.Â
Semoga film "uang panai" mampu menampar dan menyadarkan penganut dan pengikut budaya "uang panai".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H