Ada masa ketika hidup terasa lebih sederhana. Pulang sekolah, melempar tas ke sudut ruangan, dan menyalakan konsol game yang terhubung ke TV tabung. Nintendo, Sega, PlayStation ---semuanya membawa kebahagiaan instan. Di era itu, tak ada grafik ultra-realistis atau mode online. Tapi, di sanalah letak magisnya.
Kini, sebagai pria yang sudah melewati usia 30-an, saya sering kali mendapati diri saya merindukan masa itu. Namun, ada satu hal aneh: saat mencoba memainkan game-game retro itu lagi, rasa yang dulu ada sering kali menghilang. Kenapa?
Game Itu Sama, Tapi Rasanya Beda
Baru-baru ini, saya membeli konsol klasik yang menawarkan ratusan game dari masa kecil. Mario, Contra, Sonic, hingga Final Fantasy semuanya ada. Awalnya, saya begitu bersemangat. Tapi, saat mulai memainkannya, ada perasaan kosong yang sulit dijelaskan.
Dulu, melompat dengan Mario terasa seperti petualangan besar. Sekarang, rasanya seperti sekadar melompati pixel di layar. Game-nya tak berubah, tapi dunia di sekitar saya yang sudah berubah.
Kenangan yang Tak Bisa Diulang
Saya menyadari bahwa game retro bukan hanya tentang permainannya. Mereka adalah kapsul waktu. Bermain Sonic sambil mengunyah camilan sembari mendengar suara ibu memanggil untuk makan malam adalah bagian dari pengalaman itu.
Dulu, bermain game juga berarti berbagi. Bergantian stik dengan teman, bersorak saat salah satu berhasil menyelesaikan level sulit, atau bahkan bertengkar kecil karena kalah balapan di Crash Team Racing. Itu semua adalah bumbu yang membuat game terasa spesial.
Sekarang? Teman-teman masa kecil sudah sibuk dengan hidup masing-masing. Beberapa sudah berkeluarga, pindah kota, atau tak lagi bermain game.
Game Retro dan Beban Orang Dewasa
Di usia sekarang, bermain game sering kali bertabrakan dengan tanggung jawab. Ketika saya mencoba fokus menyelamatkan Princess Peach, pikiran saya melayang ke email kerja yang belum dibalas atau cicilan yang harus dibayar.