Mohon tunggu...
Topade Wisdom
Topade Wisdom Mohon Tunggu... wiraswasta -

Motivation of Life (Riyadhoh to Life)\r\nhttp://successofway.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebijaksanaan yang Terpasung: Bencana, Salah Tuhan Yang Maha Esa

7 September 2012   17:07 Diperbarui: 18 Februari 2016   17:30 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BAB: I

Bencana, Salah Tuhan Yang Maha Esa

Tembang itu berjudul Turun sintren, itulah yang terekam dimemoriku, yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang dibenaku. Maklumlah saat pertama kali kumendengarkan tembang itu dilantuntakan saat itu aku masih usia kanak-kanak. Tembang klasik (tepatnya tembang udik), dilantunkan oleh orang yang udik pula. Saat itu aku yang kanak-kanak belum mampu menangkap keluhuran pesan dari tembang yang tak diperhitungkan itu. Kini saat tembang itu sudah berumur uzur, dimana dirikupun masuk dalam kategori yang uzur, ternyata aku baru engeh. Kalau ternyata pada tembang itu terselip pesan luhur yang sangat Dahsyat. Didalamnya ada pesan moral, kritik sosial, bahkan kritik yang sangat tajam untuk para elit, para pemangku kekuasaan, pengambil kebijakan, atau pemimpin bangsa ini.

Agar kudapat menyampaikan pesan dari tembang udik yang bersahaja itu, akhirnya aku berusaha mengobrak-abrik makna pesan yang terselip didalamnya dengan menggunakan tafsir bebasku yang mungkin serba terbatas, dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas, dan capaian intelektual yang terbatas pula. Tapi tak apalah, kerena akupun sangat menyadari akan keterbatasan diriku sendiri, prinsipku yang terpenting adalah menyampaikan pesan ini kepada khalayak. Yang jelas keterbatasan adalah miliku. Ke-tak terbatasan adalah milik Tuhan. Dan keluarbiasaan adalah milik pencipta tembang ini, yang sampai kini tidak diketahui sosoknya, apalagi Namanya. Yang nyata adalah pencipta tembang ini bukan kategori manusia seperti Topade Wisdom, bahkan tak seperti pemimpin bangsa ini sekalipun. Hanya ada sedikit kesamaan antara pencipta tembang ini dengan pemimpin bangsa ini, keduanya sama-sama diberi kepercayaan Oleh Tuhan, walaupun berbeda antara yang diberikan Tuhan kepada pencipta Tembang ini dan kepercayaan yang diberikanNya untuk sang pemimpin bangsa.

Apakah Tembang ini setara dengan kidung dandang gulo yang diciptakan sang sunan?

Bisa setarakan, dapat juga dibedakan, setara pada pesanya, berbeda yang menciptakanya. Atau jangan-jangan tenbang ini juga diciptakan oleh sang sunan, wali? Entahlah aku tak mau berandai-andai, mungkin Iya, mungkin juga Tidak. Ketika aku berandai-andai seperti ini, justru makin teremas kesedihanku, karena sampai saat ini kutak dapat menatap apalagi mengusap namanya walaupun hanya yang tergurat pada batu nisan.

Tembang itu ada lima bait, anda tau lima bait itu berarti apa? Anggap saja anda mengetahuinya. Sebelum aku menyentuh pokok tembang itu, sedikit akan kusampaikan pada masa-masa tembang ini mewarnai bibir para pengidungnya, mereka adalah orang udik, jamur-jamur (cendawan) dusun, mungkin juga lumut dusun, anak negri yang tak pernah terkenang jasanya, yang menghuni rumah-rumah semut dipinggiran Kabupaten Brebes sana. Disanalah mereka ber-ria dan samsara. Tak ada Negara, taka da Kota, yang ada baginya adalah dusun tempatnya bermetamorfosa, kusebut saja dusun Karang Anyar, berada didalam rumah lebah Larangan (Kecamatan larangan). Tenaga dan pikiranya hanya tercurah demi suksesinya pertunjukan sintren (budaya busik), hiburan orang-orang udik saat dalam suasana perih menunggu datangnya sang Hujan. Sintren dipercaya oleh penduduk sekitar dapat menjadi jembatan berkah dimana sang Ilahiah akan mengelontorkan rahmatnya berupa air Hujan., dan kesembuhan penyakit. Sintren yang saat ini jejaknya hanya tertinggal di benak orang-orang uzur yang menyaksikan jamanya, Sebenarnya budaya yang Unik, budaya leluhur, Budaya langit yang saat menyentuh bumi, ternyata bumipun tak terlalu kuat untu mengembanya, apalagi merengkuhnya, mungkin karena terlalu kuatnya gerusan budaya Modern. Akhirnya untuk menyampaikan pesan dan sekaligus mengobati kerinduanku kepada budaya Sintren dan tembang Turun sintrennya, kulantunkan berupa lima bait lirik tembang itu.

  • Turun sintren
  • Sintrene widadari
  • Nemu kembang ning ayunan
  • Kembage sijaya indra
  • Kamijaya kamiranjing
  • Ranjinga maring sing dadi

 

Terjemahan:

  • Turun Sintren
  • Sintrenya Bidadari
  • Menemukan bung di peraduan
  • Kembangnya si Jaya Indra
  • Kamijaya Kamiranjing
  • Masuklah kepada yang dikehendaki

 

· Turun Sintren.

Turun (jawa) berarti Turunan atau nasab yang turun temurun dari jaman nenek moyang (leluhur). Sedangkan Sintren, (jawa) gadis kecil, atau isinya putren (putren adalah buah jagung yang baru nongol dari pohonya, bahkan belum ada isinya) orang jawa, khususnya lingkungan dusun karang anyar menyebutnya Putren. Kaitanya dengan Sintren (gadis kecil) karena memang dalam Budaya sintren yang dapat dijadikan Penari sintren harus gadis kecil, yang belum pernah terjamah oleh perkasanya tangan laki-laki dewasa, apalagi menikah, gadis kecil yang masih perawan asli. Sosok seperti inilah yang padanya dapat dimasukan arwah leluhur (danyang) yang nantinya dapat mengubah dirinya menjadi bidadari kecil, namun berperangai dewasa. Kecil memang bawaan lahirnya, namun mengapa dapat berperangai dewasa? Jika anda mengikuti sampai akhir bait tembang ini pasti akan menemukan jawabanya.

Jadi kesimpulanya Turun sintren Adalah

· Sintrene widadari

Datangnya bidadari yang masih suci sebagai jembatan RahmatNya Gusti, Tuhan. Pada jamanya adalah berkah hujan dan tersembuhnya wabah penyakit (pageblug) ataupun penyakit perorangan. Apakah hanya hujan dan kesembuhan penyakit saja misi yang diemban sang bidadari kecil (sintren) itu? Tentunya masih banyak misi yang dibawanya, semua itu tersirat didalam sisa bait tembang selanjutnya, sebagai rumusan dasar lahirnya sintren. Saya katakan rumusan dasar, yak arena masih seabrek misi sintren yang semuanya tertuang didalam kesuluruhan tembang-tembang yang biasa dikidungkan dalam pertunjukan sintren yang bukan hanya tembang pada topik ini saja.

· Nemu kembang ning ayunan

Nemu kembang ning ayunan; Didalam bait yang ketiga ini terdapat tiga suku kata yakni Nemu-Kembang-Ayunan karena Ning hanya bermakna -di- dalam bahasa Indonesia. Ketiga kata dasar itulah yang akan dibahas disini. Nemu; Artinya Mendapatkan. Sedangkan Kembang Artinya Sekar (Bunga). Ayunan Artinya Peraduan, Sebuah permainan tradisional yang sengaja dibuat dari bahan Kain, jarik, samping, yang diikat dengan tali (tambang) pada kedua ujungnya, lalu diikatkan pada kedua tiang rumah, gunanya adalah untuk menidurkan bayi atau mengais. Pada budaya udik dusun karang anyar ketika seorang ibu baru saja melahirkan biasanya ayunan inilah yang dijadikan tempat peraduan si kecil. Jika saat kedua orang tuanya tertidur pulas, lalu si kecil menangis, maka sang bunda akan meng-ayun-ayunkanya hingga sikecil terpulas kembali.

Nemu-kembang-ning Ayunan, berarti menemukan bunga diperaduan. Bunga adalah lambang kebahagian seseorang yang telah mendapatkan apa yang selama ini dinantinya, atau diidamkanya. Yang diidamkan oleh orang-orang dusun karang anyar pada masa itu adalah hujan untuk menyirami lahan taninya, lahan yang telah kering kerontang hingga tanahnya terbelah-belah (Nelo)disebabkan terik matahari karena kemarau yang berkepanjangan. Karena budaya sintrenan diadakan biasanya saat penduduk dusun Ndlelik (mengharap musim hujan yang tak kunjung turun). Atau saat terserang pageblug (wabah), penyakit yang melanda penduduk. Budaya sintren sebenarnya bukan hanya budaya dusun Karang Anyar, akan tetapi budaya masyarakat pantura, masyarakat pantura dari Indramayu sampai ke Pekalongan sudah pasti mengetahui budaya sintrenan ini.

Bait Selanjutnya adalah

· Kembage sijaya indra

Artinya kebahagiaan itu merekah didalam diri mereka (masyarakat), menelusup, membanjiri keseluruh indra, lalu melahirkan ekspresi kebahagiaan pada masyarakat akan kejayaan hidup, jaya adalam artian padanya timbul harapan besar yang sudah mulai Nampak nyata. Diawali dari turunya hujan, musim pengujan. Pada titik inilah segala bentuk aktifitas masyarakat mayoritas berubah, dari awalnya Ndelik (mengharap), kini masyarakat dapat mengaplikasikan bentuk pengharapanya dengan berkarya tani, bercocok tanam, dimana dengan adanya hujan tersebut masyarakat dapat memulai mengolah lahan pertanianya, yang tentunya akan ditanami beraneka ragam tanaman, pada masa itu tanaman yang pokok ditanam adalah jagung. Jagung dapat dikatakan makanan pokok warga dusun Karang Anyar pada masa itu, karena sedikit beras hanya akan dijadikan campuran bersama nasi jagung. Masyarakat udik, hidup bersama budaya udik (sintren), dan dalam keadaan ekonomi yang busik (terlalu miskin) melarat. Inilah potret nya.

Sampai disini rasanya belum orgasme jika tidak memunculkan potret konflik hati pada masyarakat pada masa itu. Konflik hati? Ya konflik hati, karena pada masa itu hubungan sosial masyarakat sudah diwarnai konflik juga. Secara keseluruhan komunikasi antar warga berjalan baik, namun ada hal-hal khusus yang menyelinap kedalam dan menyumbat saluran komunikasi antar warga, sumbatan kecil) hal ini berkaitan dengan ritual budaya sintrenan yang dipandang oleh sebagian orang “baru” sebagai kemusyrikan, pelanggaran terhadap ajaran agama yang dianut oleh hampir seluruh warga pedusunan.

Lalu apa kaitanya antara Konflik hati dan Orang “baru”?

Dikatakan konflik hati karena konflik yang ada tidak sampai memecah-belah, atau memutus-mutus saluran komunikasi antar warga, kelompok orang “baru” yang tidak sepakat dengan budaya ritual sintrenen hanya berupa kelompok kecil yang pada lingkunganya tertanam paham yang berbeda dari mayoritas warga dusun karanganyar. Dikatakan Orang “baru” karena kelompok ini dipelopori oleh orang baru yang bermigrasi mengisi sekitar kota kecamatan, padanya langsung mendapat tempat yang istimewa dikalangan masyarakat, mereka kalangan sarjana, intelektual dari luar yang mengambil peran sebagai pengajar disekolah-sekolah umum, pada lembaga formal inilah paham mereka ditelorkan, tidak langsung pada masyarakat, tapi hadirnya orang “baru” ini justru dihormati oleh penduduk pedusunan, lantaran beda kasta sosial, beda kasta pendidikan, dan padanyalah penduduk dusun menitipkan anaknya untuk diajar ilmu intelektual, kebanyakan mereka adalah Bapak dan Ibu Guru disekolah-sekolah formal.

 

· Kamijaya kamiranjing

 

Lidah orang jawa dusun karang anyar menyebuya “Kamijaya” dalam waktu yang bersamaan juga dapat disebut “Kamajaya

 

Mari kita lihat perbedaan ketika kalimat itu disebut “Kamijaya” atau “Kamajaya”

Ø Kamijaya, adalah kalimat yang melekat kepada kawula alit (orang udik), dengan harapan dan cita-cita yang sahaja, cukup dengan datangnya hujan, keluarga dan kerabatnya terbebas dari penyakit, tak tersangkut persolan hukum, ora ngileran lan ora gumunan (tidak menghendaki barang milik orang lain, apalagi memilikinya). Jika Kamijaya difisualkan sebagai sosok maka sosoknya adaha Dewi, seorang perempuan yang memegang erat mazhab cinta dan kepada siapa saja cinta itu akan ditanamkan (Kamiranjing) asalkan dalam keadaan hati yang terbuka, alhasil seseorang yang didalam hatinya sudah tertanam (Kamiranjing) cinta dari sang dewi, kehidupanya akan bersahaja, lemah lembut, welas asih kepada sesama. Yang demikian adalah gambaran sosial kawula alit (orang udik), sesuai dengan perangai sang dewi yang lemah lembut dan bijaksana. Dalam pewayangan sosok tersebut adalah Dewi Kamaratih.

 

Selanjutnya

Ø Kamajaya, ada kemiripan sebenarnya antara Kamijaya dan Kamajaya. Jika diatas adalah sosok dewi maka disini adalah sosok Dewa. Dewa Cinta, sosoknya gagah berwibawa dalam Kisah pewayangan sosok tersebut adalah Batara Kamajaya. Sang Hyang Kamajaya adalah anak Semar (Hyang Ismaya). Ia Dewa cinta dan berparas elok sekali. Kamajaya beristrikan Dewi Kamaratih, putri Sang Hyang Resi Soma. Dewi ini sebangsa bidadari yang sangat cantik. Kamajaya dan Kamaratih tak pernah berpisahan. Dewa dan Dewi ini senantiasa menjaga keselamatan umat manusia di dunia ini, terutama keluarga Pendawa. Kamajaya malahan disebut juga Dewanya Arjuna, oleh karena ia sangat sayang pada Arjuna. Di dalam Lakon Cekel Indralaya, Arjuna menjadi pendeta dan Kamajaya datang ke Dwarawati menyamar sebagai Arjuna untuk menentang Korawa yang akan datang menggoda Dewi Wara Sumbadra, istri Arjuna.

Menurut kepercayaan orang Jawa, pada waktu seorang wanita hamil untuk pertama kalinya dan diadakan selamatan hamil tujuh bulan (Jawa: mitoni), maka disajikan juga sebuah kelapa gading yang digambar Kamajaya dan Kamaratih dengan harapan semoga mendapat berkah dari Dewa dan Dewi itu. Sang Hyang Kamajaya bermata jaitan, berhidung mancung, dan bergigi hitam karena sisik. Berpakaian seperti Dewa, tapi pada bagian kepala tampak sebagai ksatria. Dia bersemayam di Cakra kembang tempat tersendiri bagi Kamajaya dan Kamaratih.

Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan berusia 7 bulan), Kelapa muda yang hendak dipecahkan ayah calon bayi sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari buah cinta. Siapapun yang tertanam (Kamiranjing) berkah dari keduanya tidak mustahil akan menjadi seorang raja atau penguasa, tentu saja penguasa yang didalam dirinya tertanan mazhab cinta, kala memimpin akan arif dan bijaksana.

· Ranjinga maring sing dadi

Inilah bait tembang yang terakhir, berkah kedua dewa dan dewi itu akan masuk (Kamiranjing) kepada siapa saja yang dikendakiNya (Ranjinga maring sing dadi) dengan catatan dalam hidupnya selaras dengan kehendak sang Gusti, kerena keduanya adalah utusan Gusti.

Dalam khasanah budaya udik jika keduanya hadir berwujud Ndaru, sekilas seperti meteor yang meluncur, lalu hinggap dirumah salah satu warga yang sedang mencalonkan diri sebagai Lurah, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden.

Jika keseluruhan penduduk suatu kampung yang dikehendakinya, maka kampong tersebut akan dijadikan gemah ripah loh jinawi.

Dalam Budaya kekinian keduanya sepertinya enggan hadir kembali kebumi pertiwi ini. Pertanyaanya apakah penyebeb keduanya raib dan enggan menghadirkan iklim sosial seperti yang disebutkan diatas?

Apakah keduanya sudah dipasung oleh umat kekinian, keduanya diikat dilekatkan pada sebuah balok yang besar, lalu dibuatkan peti besar terbuat dari baja setebal 15 cm, keduanya dimasukan kedalamnya dan digembok dengan gembok sebesar Pos penjaga yang teronggok didepat rumah penguasa? Setelahnya dijeburkan ke lautan bebas dengan dibanduli beban dari batu sebesar gunung jaya wijaya, keduaya mungkin masih ada didalamnya namun sudah tak berdaya. Akibatnya kini semua iklim berubah, politiknya berubah, ekonominya berubah, komunikasi sosislnya turut berubah.

Yang muncul adalah generasi bringas, berdarah dingin, dan yang diam namun mencekam, generasi kekinian, organisasi kekinian, dengan budaya kekinian pula. Budaya luhur kabur bahkan hancur, Budi mulia sudah menjadi barang langka, ahlakul karimah lemah tak berdaya. Tulisan kian bijak, kebuasan terus beranak pinak. Agama kian dibanjiri pengikut, namun prilaku mulia semakin bangkrut. Pengusa semakin buta, masyarakat tercekam malapetaka. Pertanyaan terus mengalir namun jawaban kian dipelintir. Malapetaka ada salah siapa? Dijawabnya salah Yang Maha Esa. Kenapa Yang Maha Esa? Karena segala sesuatu atas campur tanganNya. Ini musibah. Penguasapun bersih dari tuduhan.

Tembang itu berjudul Turun Sintren[1], diciptakan oleh manusia yang luar biasa, manusia mulia yang namanya kini raib bersama tokoh yang ada didalamnya. Jika tembang itu turut tiada, maka akupun tak akan pernah ada. Karena tembang ini adalah awal kelahiran segala rupa. Tembang itu adalah keluguan, kepolosan, keperawanan yang suci. Tembang adalah kidung, kidung adalah firman, firman adalah ucapan dalam penciptaan, maka lahirlah aku, anda dan kita (turun sintren). Bidadari kecil itu berperangai dewasa, dewasa adalah yang menjembatani antara manusia dan pencipta, tanpa kedewasaan tak ada kepercayaan darinNya, kedewasaan dalam makna hakiki, kedewasaan manusia lumrah, manusia yang masih lugu, perawan suci, orisinil, karena inilah yang menjamin kepercayaan itu ada. Lalu merekahlah kembang (kebahagiaan hidup). Namun untuk mendapatkan kebahagiaan hidup kita mesti merajuk, meminta, berdoa, dan berupaya, laksana upaya sang bayi diperaduan yang menangis, rengekanya mencuri perhatian sang bunda agar mengais peraduanya, akhirnya sang bunda mengais dengan keluguan pula, mengais dengan cinta, tak jarang merengkuhnya dengan cinta, lalu pulaslah, damailah sikecil diperaduanya, itulah kebahagiaan hakiki, kesenangan yang sesungguhnya, damai yang sebenarnya. Ya harus dengan tangisan lugu, bukan rengekan yang dibuat-buat yang lazim dilakukan oleh orang-orang yang kedewasaanya hanya ada diisi kepalanya saja. Tangisan palsu, rengekan palsu, semua serba palsu. Untung saja Gusti maha tau, maha mengerti, walaupun tau segala kepalsuan yang dilakukan hambanya tetap diberikan segala yang dikehendakinya dan yang dimintanya. Dasar serba palsu kesucian apapun yang Gusti berikan kepadanya akan diubahnya menjadi palsu, kebahagian palsu, kesenangan palsu, air tak mampu mencuci, emas tak mampu mengindahkan budinya, dunia makin membuatnya buta.

 

[1] Dalam budaya sintrenan tembang ini sebagai tembang pengantar, dikidungkan (dilantunkan) saat sang penari sintren baru saja masuk kedalam kurungan, dahulu kurungan itu terbuat dari kurungan ayam yang bagian luarnya ditutupi kain, jarik, samping, segala bentuk peralatan rias dan sandang (pakaian) pengganti turut dimasukan bersamaan sang penari. Konon dalam keadaan gelap gulita didalam kurungan ayam sang penari mermetarias dengan sendirinya, tak dibantu oleh siapapun, hanya dibantu oleh sang arwah leluhur yang dipanggil melalui media tembang turun sintren.

 

Bersambung: Pelacur-pelacur Kehidupan

 

=================================================================

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun