Pilkada Tasikmalaya 2024, fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan adanya perhatian khusus terhadap kebijakan cuti bagi calon petahana, khususnya dalam periode masa kampanye. Berdasarkan Pasal 70 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, para petahana yang mencalonkan diri kembali di daerah yang sama diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara. Cuti ini ditujukan untuk memberikan ruang netral dalam kompetisi Pilkada, sehingga para petahana tidak menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan politik.
Dalam konteksNamun, masalahnya muncul ketika masa cuti ini ditetapkan hanya hingga akhir masa kampanye, yang berakhir sebelum masa tenang. Dalam contoh kejadian di tasikmalaya, kita melihat bahwa untuk pasangan calon (paslon) petahana seperti Ade Sugianto, yang menjadi calon bupati paslon nomor urut 3, dan Cecep Nurul Yakin, calon bupati paslon nomor urut 2, kebijakan ini memberikan keuntungan khusus. Mereka bisa kembali bekerja setelah masa kampanye selesai, tepat sebelum masa tenang, yaitu tanggal 23 November 2024, sedangkan pemungutan suara dijadwalkan pada 27 November 2024.
Keuntungan ini dapat dinilai menguntungkan bagi petahana karena mereka dapat kembali dalam posisi jabatan sebelum hari pemungutan suara, meskipun undang-undang melarang mereka menggunakan posisi dan fasilitas jabatannya untuk kepentingan kampanye. Dengan kembalinya petahana pada masa tenang, walaupun mereka tidak boleh melakukan kampanye secara aktif, posisi mereka dalam pemerintahan bisa memengaruhi persepsi publik, khususnya pemilih yang melihat kehadiran aktif petahana dalam perannya. Ini tentu menjadi tantangan bagi pasangan calon lainnya, khususnya pasangan calon nomor urut 1, Iwan Saputra dan Dede Muksit Aly ZA, yang tidak berada dalam posisi petahana.
Kebijakan ini patut diperhatikan dan dikaji lebih lanjut. Seharusnya, undang-undang lebih memperhatikan kemungkinan keuntungan yang tidak adil bagi petahana yang dapat kembali bekerja setelah masa kampanye selesai. Mengizinkan petahana kembali ke kantor dalam minggu tenang memang tidak secara eksplisit melanggar undang-undang, tetapi membuka potensi bagi petahana untuk tetap memiliki akses yang lebih besar terhadap kekuasaan dan perhatian publik.
Dari sisi lain, kebijakan cuti juga dimaksudkan agar para petahana tetap dapat menjaga pelayanan publik di daerahnya. Dalam beberapa peristiwa, daerah yang ditinggalkan tanpa pemimpin aktif dalam waktu lama bisa menghadapi masalah administratif. Maka, solusi yang bisa dipertimbangkan adalah memperpanjang masa cuti hingga masa tenang berakhir atau memperkenankan mereka kembali bekerja hanya setelah hari pemungutan suara. Dengan demikian, kesetaraan dalam pemilu dapat lebih terjamin.
Mengacu pada tasikmalaya, situasi ini juga bisa memicu spekulasi publik terkait integritas proses Pilkada. Sebagai incumbent, akses mereka terhadap sistem pemerintahan tetap ada, dan kemungkinan ini dapat memengaruhi preferensi pemilih. Ini berbeda dengan calon lain seperti Iwan Saputra dan Dede Muksit Aly ZA yang tidak memiliki akses yang sama terhadap sistem pemerintahan dalam minggu tenang. Ketidakadilan semacam ini menimbulkan potensi ketimpangan dan bisa berdampak pada persepsi publik terhadap proses demokrasi lokal.
Dalam Pilkada Tasikmalaya kali ini, pembahasan mengenai batas cuti bagi petahana adalah isu penting yang perlu diawasi secara ketat. Selain itu, di masa depan, Mahkamah Konstitusi dan pembuat kebijakan di tingkat pusat perlu mempertimbangkan revisi terhadap peraturan ini. Dalam hal ini, mungkin diperlukan pemisahan tegas antara masa cuti dengan masa tenang sehingga masa tenang benar-benar dapat dimanfaatkan untuk menenangkan suasana politik tanpa adanya bayangan kekuasaan dari pejabat petahana yang tengah mencalonkan diri.
Sebagai penutup, kebijakan cuti yang berlaku bagi para petahana sebaiknya lebih ditekankan pada kesetaraan dalam kontestasi politik. Para pemilih harus dapat memilih tanpa adanya pengaruh dari figur yang masih memegang jabatan. Hal ini akan memperkuat integritas dan kualitas demokrasi di daerah, khususnya pada masa Pilkada yang seharusnya menjadi ajang yang adil dan transparan bagi semua calon.
Kesimpulan
Mempertimbangkan aspek-aspek di atas, dapat dilihat bahwa ketentuan cuti petahana di Pilkada perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama bagi kasus di Tasikmalaya tahun ini. Bukan saja soal kepatuhan pada aturan, tetapi juga prinsip keadilan dan netralitas yang menjadi fondasi dari proses demokrasi. Ke depan, peran Mahkamah Konstitusi dan DPR dalam merevisi atau mengkaji ulang peraturan ini menjadi penting, agar seluruh calon yang berkompetisi memiliki posisi yang setara tanpa adanya kelebihan akses pada kekuasaan, termasuk di minggu tenang yang mendekati pemungutan suara. Hal ini akan memastikan bahwa setiap pasangan calon bersaing di atas level playing field yang sama, dan hasil Pilkada pun benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H