Spontan ungkapan ini terlintas dalam budi saya, ketika saya menyaksikanIsmiyati Saidi, mantan Ketua DPC PD Kab. Boalemo, Gorontalo – Saat ini Ketua Dewan Pembina DPC PD Boalemo, mengakui dengan penuh kebebasan tindakan suap-menyuap, sogok-menyogok dalam tubuh Partai Demokrat (PD) terkait pemilihan ketua umum (ketum) PD dalam kongres nasional PD beberapa waktu lalu. Semula saya menyesali tindakan ibu Ismi. Mengapa baru sekarang ibu berani buka-bukaan di TV-One? Mengapa ibu tidak langsung mengkomunikasikan kepada public semenjak ibu menerima uang suap hingga ratusan juta itu? Ada apa dibalik semuanya ini? Begitulah rentetan vonis yang sempat terlintas dalam budi saya pada kesempatan pertama.
Selanjutnya, saya berusaha keluar dari deretan penghakiman itu dan coba memahami esensi persoalan secara lebih baik. Memang dari segi intensitas dan efektivitas, pengakuan ibu Ismi dan beberapa rekan lainnya terkait tindakan gobrok yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum dengan antek-anteknya merupakan suatu tindakan yang sudah kedaluwarsa. Tapi segera kalau dihubungkan dengan kasus Wisma Atlet dengan fokus pada tersangka Nazarudin, mantan bendahara umum PD dan tersangka baru lainnya, Angelina Sondak (Angie), hemat saya pengakuan ini sangat aktual dan sangat urgen bagi proses penyelesaian kasus tersebut. Urgenitas ini makin tinggi, manakala kita hubungkan dengan jawaban TIDAK yang diungkapkan Angie dalam persidangan Tipikor Jakarta, Rabu, 15 Februari 2012. Sejauh pengamatan saya, setiap pertanyaan yang diajukan saudara Nazarrudin selalu saja dijawab Angie dengan ungkapan “Tidak”. Menyimak jawaban singkat itu, saya naik pitam, sebab esensi jawaban TIDAK adalah Angie tidak bersalah, padahal sesungguhnya Angie bersalah. Bagaimana mungkin Angie yang dulu dibilang memiliki empat keutamaan: Body, beauty, brain, dan behaviour hingga dapat menyabet predikat Puteri Indonesia 2001 harus berubah seratus deapan puluh derajat seperti itu? Adakah Angie sekarang berbeda dengan Angie yang dulu? Yah..saya bisa memahami perubahan itu. Sebab perubahan adalah satu keniscahayaan. Kata Herakleitos, Pantharei, segala sesuatu selalu dalam keadaan mengalir-berubah/menjadi. Saya juga memahami bahwa Angie berubah karena Angie itu makhluk dinamis. Tapi setahu saya, perubahan yang harus dialami oleh kaum intelek seperti Angie adalah maju selangkah demi selangkah menuju kesempurnaan dan bukan mundur selangkah demi selangkah menuju kebiadaban.
Dengan pemahaman tersebut, saya dapat mendasari kemarahan saya pada Angie. Angie mundur beberapa langkah dari kemapanannya sebagai manusia yang manusiawi. Ketika mengatakan tidak demi menutupi kebenaran yang berada di balik jawaban “YA”, Angie telah mengangkangi eksistensinya sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Mengapa Angie harus berani mengatakan “TIDAK”? Demi martabat Partai Demokrat? Demi harga diri Anas Urbaningrum dan masa depannya untuk menjadi presiden hari esok? Demi menjaga kewibawaan dan martabat dewan pembina partai Demokrat, bapak SBY yang juga sekarang adalah Presiden RI? Atau demi mendapatkan sejumlah uang lagi agar bisa hidup lebih mewah? Atau jangan-jangan, Angie mengambil sikap ini untuk menaikan popularitasmenuju maskot lainnya di hari esok?
Sudah waktunya Angie mengikuti apa yang dilakukan oleh Ibu Ismi dan beberapa rekan lainnya. Walau terlambat, tidak mengapa. Berikan jawaban “YA” atas pertanyaan Nazarrudin sesuai fakta yang ada. Jangan manipulasi kebenaran dengan mengatakan “TIDAK”. Saya mengerti, mungkin pada persidangan Rabu, 15-02-2012 itu, Angie belum terlalu siap untuk menjawab dengan sejujurnya.Saya menduga, hari itu Angie masih berhadapan dengan aneka bayangan berat terkait konsekuensi dari perkataan “YA”. Ia pasti tidak terlalu kuat memikul resiko sesudah ia mengatakan “YA”, sehingga dengan wajah mantap yang dibuat-buat, Ia berusaha melawan suara hati dan terpaksa mengatakan “TIDAK”.
Namun, untuk saat ini, mau tidak mau Angie harus mengungkapkan dengan sejujurnya seperti yang telah dibuat oleh ibu Ismi. Segala macam suap yang dia tahu terkait Wisma Atlet, segala kegobrokan yang dibuat bersama Tim Anas Urbaningrum saat kongres pemilihan ketua umum (ketum) PD harus diungkapkan secara transparan tanpa membelok-belokan fakta. Saya memberi salut kepada Ibu Ismi yang malam itu dengan senyum dan penuh keberanian menjawab pertanyaan pewawancara TV-One. Terhadap pertanyaan, apakah Anda sudah siap menerima konsekuensi dari semua pihak terkhusus PD terkait keberanian anda mengungkapkan kegobrokan internal PD dalam kongres pemilihan ketum PD beberapa waktu lalu, ibu Ismi mengatakan singkat: saya siap! Hemat saya ungkapan ini sangat bermakna. Di balik ungkapan ini saya menemukan kekuatan: ibu Ismi mengatakan demikian karena ia mau menjadi pengabdi kejujuran. Awalnya ia tidak jujur dan ini bisa dipahami pula sebagai tindakan membenci kejujuran, tapi akhirnya ia mau jujur. Rupanya setelah ibu Ismi dan juga beberapa rekan PD lainnya menimbang-nimbang, ternyata menjadi pengabdi kejujuran itu lebih mulia sehingga sekarang mereka siap mengatakan sejujurnya kapan saja. Mereka yakin, menjadi pengabdi kejujuran itu abadi adanya dan sangat bermartabat daripada mencintai tipu muslihat yang selalu berujung derita dan sengsara selamanya.
Dengan ini saya meminta Angie meneladani ibu Ismi dan kawan-kawannya. Tidak perlu lagi membuat kalkulasi untung rugi, juga tingkat kenyamanan dan ketidaknyamanan diri ketika dengan lantang mengatakan secara sejujurnya apa yang telah terjadi. Yakinlah, berpihak pada kejujuran itu sangat nyaman dan membahagiakan. Bisa jadi untuk sesaat, Angie akan merasa sakit karena telah sempat mengingkari kejujuran itu sendiri, tetapi selamanya Angie akan bahagia setelah kembali bersimpuh di hadapan tahta kejujuran dan menjadi abdi untuk selamanya. Angie tidak perlu lagi menjaga kehormatan murahan PD dan orang-orang teras PD, sebab publik telah mengetahui keburukan mereka. Angie mestinya sadar kalau ia telah terdepak dari PD. Mengapa ia harus sungkan-sungkan mengungkapkan kebenaran. Sambil merenungkan iklan korupsi yang telah Angie tampilkan di media atas nama Demokrat, katakan TIDAK untuk korupsi, hayatilah apa yang telah dikatakan oleh pak SBY sendiri, biarkan semua dibuka hingga terang benderang.
Sembari berusaha menguasai diri agar bisa menjadi pengabdi kejujuran seperti Ibu Ismi dan beberapa rekan lainnya, baiklah kalau Angie mengikuti pula apa yang dilakukan Nazarrudin sekarang. Saya yakin, publik secara perlahan-lahan akan memaklumi kesalahan Nazarrudin dan bahkan memaafkannya, sebab Bung Nazar sungguh telah menyadari kekilafan dan segala kegobrokannya. Lebih jauh dari itu, ia juga sudah siap menerima segala konsekuensi terkait kesalahannya dan siap berubah menjadi Nazarrudin baru, pengabdi kejujuran (Nazarrudin pasca penyelesaian kasus yang kini sedang meliliti dirinya). Angie tidak perlu lagi memikirkan untung rugi untuk dirinya, apalagi PD, juga Anas Urbaningrum, atau pak SBY dan sebagainya. Yang harus mendasari Angie dalam mengatakan kebenaran adalah jujur dan rendah hati. Jujur mengatakan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Rendah hati menerima segala komentar, ejekan atas diri terkait kesalahan yang telah dilakukan. Dengan kejujuran dan kerehadan hati, Angie menjemput segala konsekuensi demi menyucikan diri agar menjadi Angie baru. Saya yakin, Angie pun akan dimaafkan seluruh rakyat Indonesia asal ia mau mengabdi kejujuran dan dengan lantang mengatakan segala keburukan yang sedang ditutup-tutupi karena tekanan pihak tertentu. Selamat datang pengabdi kejujuran. Katakan sejujurnya pada ibu pertiwi dan ia akan mendadani kembali engkau sebagai puteri terbaiknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI