Mohon tunggu...
Anton Kapitan
Anton Kapitan Mohon Tunggu... Guru - Seorang pegiat pendidikan yang menyukai diskusi dan debat

Anton Kapitan adalah seorang pemuda kelahiran Supun, TTU-Timor, NTT. Berjuang memaknai hidup dengan berpikir, berkata dan berbuat dalam spirit 4s. Mengupayakan sekolah kehidupan bagi anak-anak di pedalaman. Mengusahakan pendidikan sepanjang hidup. Pemimpi dari Timur untuk Indonesia dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Hari Kartini

20 April 2013   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini,Hari Kartini. Demikian berlakunya tanggal 21 April sebagai Hari Kartini sejak adanya keputusan Presiden Republik IndonesiaNo. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Keputusan yang dikeluarkan presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno tersebut, mengandung dua hal: Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Raden Ayu Kartini (R.A.Kartini) dan penetapan hari kelahiran R.A.Kartini, tanggal 21 April sebagai Hari Kartini.

Sebagai seorang putera nusantara yang juga lahir pada tanggal 21 April, saya sangat bergembira dengan keputusan di atas. Maklum tanggal lahir saya termasuk tanggal istimewah dalam haribaan ibu pertiwi. Cieh, sedikit bergaya nich. Maaf, sesungguhnya kegembiraan saya tidak hanya karena tanggal lahir saya termasuk dalam tanggal istimewah Republik ini, tetapi terutama karena pribadi agung yang sangat saya kagumi di balik tanggal istimewah ini, yakni R.A.Kartini.

Mengenai R.A. Kartini, saya yakin sidang pembaca sudah tahu beberapa hal pokok, antara lain nama lengkap, tempat tanggal lahir, nama orang tua, nama suami, sepak terjangnya di antara kaum perempuan Jepara, dan yang paling utama, karya tersohornya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Raden Ayu Kartini, demikian nama lengkap Kartini, lahir di Jepara, Jawa Tengah Hindia Belanda pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya, R.M. Sosroningrat adalah bupati Jepara masa pemerintahan Hindia Belanda, sedang ibu kandungnya M.A Ngasirah, seorang perempuan dari kalangan menengah.

Karena tergolong anak bangsawan, maka Kartini kecil diperkenankan untuk mengenyam pendidikan di bangku pendidikan. Hanya sayang, adat Jawa yang ketat kala itu hanya mengijinkan Kartini bersekolah hingga usia 12 tahun, tamat ELS – Europese Lagere School. Sakit dan bergolak sungguh hati Kartini kecil, kala ia hanya diperkenankan mendapatkan pendidikan sebatas usianya yang ke-12. Mungkinkah hatinya tenang dan damai kala ia yang punya cita-cita mulia untuk melanjutkan pendidikan di bangku pendidikan lanjutan demi memajukan kaum sebangsanya harus takluk di hadapan budaya pingit masyarakatnya?

Berbagai usaha dan daya juang yang dibuat Kartini, entah itu tindakan membaca surat kabar (De Locomotief, Leestremmel I dan De Holandsche Lelie- majalah wanita Belanda ) dan buku-buku berbahasa Belanda (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali; De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus; Karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata)), korespondensi dengan teman-teman di Eropa (terutama dengan temannya Rosa Abendanon) dan karya-karya tulis yang sempat dimuatnya di beberapa surat kabar Eropa, terkhusus Belanda, ia mengabadikan kegigihannya untuk memajukan kaum perempuan sebangsanya, dan tentu juga bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan.

Sebagaimana ditemukan dalam korespondensinya dan beberapa karya yang kemudian diabadikan dalam karya tersohornya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini hendak mendobrak dan menyempurnakan adat-istiadat masyarakatnya yang mana pada masa itu sangat memasung kebebasan kaum perempuan. Kiranya perjuangan ini boleh dilihat sebagai cikal-bakal gerakan emansipasi wanita atau gender dalam Republik Indonesia tercinta ini. Selain sharring ide dan buah pena, karya lain yang dibuatnya adalah pendidikan bagi perempuan Jepara dan Rembang melalui sekolah Kartini, sekolah khusus untuk kalangan wanita yang didirikannya tahun 1903 berkat dukungan dari suami tercinta, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang adalah bupati Rembang.

Nampaknya sederhana sekali karya R.A Kartini sebab perjuangannya hanya sebatas bersurat dengan teman-teman di Eropa, menulis beberapa artikel dalam bahasa Belanda, dan mendidik puteri-puteri Jepara dan Rembang melalui sekolah Kartini beberapa tahun saja. Maklum pada usia 25 tahun, setidaknya sesudah melahirnya anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat, tepatnya tanggal 17 September 1904 ia pun pergi menghadap Sang Khalik untuk selamanya. Bahkan dalam bahasa yang sedikit negatif, karya Kartini dalam hal emansipasi wanita pun tidak maksimal sebab ia pada akhirnya menjadi istri keempat untuk bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Bukannya menjadi istri keempat seperti ini berarti mendukung perendahan martabat kaum perempuan?

Karena demikian sederhana karyannya dan faktum pernikahannya seperti tersebut di ataslah, maka ketika ditetapkannya Kartini sebagai Pahlawan nasional dan terlebih lagi ketika hari lahir Kartini ditetapkan sebagai Hari Kartini dalam skala hari peringatan nasional, muncul penolakan dari kalangan tertentu hingga saat ini. Umumnya penolakan mereka dilandasi pernyataan di atas. Kartini tidak pantas menjadi pahlawan nasional dan terlebih lagi, hari lahirnya tidak bisa dijadikan sebagai salah satu hari peringatan nasional. Adalah pantas dan mulia mengangkat Cut Nyak Dhien, Martha CHristia Tiahahu dan Dewi Sartika sebagai pahlawan nasional sekaligus menetapkan hari lahirnya sebagai hari peringatan nasional, sebab perjuangan dan karya mereka jauh lebih mengagumkan dari R.A Kartini. Demikian alasan penolakan sekaligus solusi untuk mengakomodir kerinduan Republik menghargai jasa kaum perempuan dalam skala perjuangan nasional.

Sebagai generasi muda yang sedikit belajar, bisa saja saya setuju dengan kelompok yang kontra keputusan Ir. Soekarno di atas. Namun ketika membenamkan diri dalam ‘ruang dan masa hidup’ R.A Kartini sambil membaca karya tersohornya, (yang menurut kalangan kotra adalah sebuah karya yang tidak seratus persen berasal dari R.A Kartini, melainkan sebagian besarnya ditulis J.H Abendanon, penerbit perdana karya tersebut dalam bahas Belanda – ‘Door Duisternis tot Licht’) Habis Gelap Terbitlah Terang, saya sadar karya sederhananya itu adalah satu maha karya yang telah menghantar malam gelap menuju penghabisannya dan menghadirkan fajar hari baru dengan satu sistem yang pasti. Bukannya sekarang gerakan emansipasi makin gencar disuarakan? Bahkan disimak dengan lebih serius, bukannya perundangan Republik Indonesia telah mengakomodir kaum perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan bangsa, termasuk dalam bidang politik? Bukannya kaum perempuan telah menyadari harga diri dan martabatnya sebagai makhluk mulia, sekalipun akhir-akhir ini sebagian dari mereka memperjuangkan kesetaraan gender secara semrawutsehingga lupa diri atau bisa jadi tidak tahu diri lagi kalau mereka adalah perempuan yang terbedakan dari lelaki?

Memang benar bahwa perjuangan emansipasi wanita yang makin menanjak di saat ini tidaklah semata karena perjuangan Kartini, tapi bagaimanapun juga perjuangan itu berjiwakan semangat perjuangan Kartini. Sedikit terang yang diwariskan Kartini melalui tulisan tangannya terus mengusik kepekatan malam kaum perempuan hingga hari ini sudah mulai terasa keberadaan terang itu, entah di mata kaum perempuan sebangsanya maupun kaum lelaki zaman ini. Sederetan barisan bisu, buah karyanya ternyata telah berbicara lebih lantang dan mampu menghancurkan benteng budaya konvesional yang cendrung menomorduakan kaum perempuan. Mimpi-mimpi indah akan kaum perempuan Indonesia yang hebat, yang mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional telah terwujud kini oleh kaum sebangsanya. Urgentnya pendidikan kaum perempuan demi terwujudnya perempuan Indonesia yang utuh dan manusiawi sebagaimana yang telah dimulai beliau semasa hidupnya terus membawa hasil yang mengagumkan di masa kini. Adakah semuanya ini harus dilihat dengan sebelah mata saja dan dianggap tiadalah berarti sehingga R.A Kartini tidak pantas menjadi pahlawan nasional dan tanggal 21 April tidak pantas dirayakan sebagai Hari Kartini?

Terlepas dari pertimbangan pribadi (dalam arti karena kebetulan tanggal 21 April adalah tanggal lahir saya, maka saya mendukung penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Kartini), atas dasar uraian di atas, saya menegaskan bahwa Hari Kartini pantas dirayakan oleh masyarakat Indonesia, terutama kaum perempuan Indonesia dan R.A Kartini pantas digelari pahlawan nasional. Biarkan Hari Kartini dirayakan agar masyarakat Indonesia senantiasa diingatkan untuk menghormati martabat dan derajat kaum perempuan. Perempuan dalam keadaan mulianya adalah manusia utuh yang harus dihargai dan hormati sebagaimana setiap orang terpanggil untuk menghormati kaum lelaki. Ia bukanlah objek pelampiasan hawa nafsu laki-laki dan berbagai naluri kebinatangan kaum lelaki. Ia juga bukan sarana empuk untuk mendapatkan kekuasaan dan harta benda. Maklum, akhir-akhir ini kaum perempuan dijual oleh ayahnya demi dapatkan sejumlah uang, oleh majikannya demi meraup keuntungan sebanyak mungkin dan oleh atasannya demi mempertahankan jabatan tertentu. Pantaslah Hari Kartini dirayakan agar masyarakat Indonesia pun boleh berbangga bahwa di masa penjajahan sekalipun sudah ada perempuan yang secara ilmiah mengangkat harga diri dan martabat kaum perempuan. Berbarengan dengan rasa bangga itu, pantaslah masyarakat Indonesia pun menghidupi semangat pantang menyerah dan berusaha menjadi yang terbaik di tengah tantangan dan berbagai persoalan bangsa ini.

Sudah selayaknya hari Kartini dirayakan setiap tahun agar kaum perempuan Indonesia tidak sampai lupa diri, apalagi tidak tahu diri. Mengenang Hari Kartini, tidak hanya sebatas memakai kabaya dan sarung batik, juga tidak hanya sebatas mengikuti upacara di tempat tertentu. Merayakan hari Kartini bagi kaum perempuan berarti mengobarkan semangat dan daya juang, menguatkan barisan dan memperkokoh komitment untuk maju bersama demi menantang berbagai tantangan yang ada di depan mata sebab perjuangan belum selesai, belum apa-apa. Kaum perempuan masih saja terus ditindas dan dinjak-injak martabatnya dalam berbagai modus. Mulai dari model pakaian sampai pada jenis pekerjaan yang diemban kaum perempuan, nampak jelas martabatnya masih saja dipermainkan. Sungguh, kemajuan yang dipicu teknologi Informasi serentak membawa tantangan yang cukup berat bagi kaum perempuan untuk hidup secara pantas dan layak sebagai kaum perempuan. Tak pelak lagi, banyak perempuan sudah hidup seperti laki-lakisaja. Untuk inikah sebuah emanisapasi sebagaimana telah dimulai R.A Kartini?

Sungguh Kartini, pribadi agung dan mulia itu telah mewariskan kebebasan dalam arti yang sesungguhnya bagi segenap puteri Indonesia. Perjuangan Kartini dalam keutuhan kodratnya sebagai perempuan telah menyempurnakan segala jerih payah putera-putera bangsa kala itu. Mari berbahagia. Selamat Hari Kartini untukmu kaum hawa senusantara. Tiada yang dapat kami beri sebagai hadiah istimewah di hari bahagiamu ini selain karya sederhana ini. Berkenan di hati dan budi, terwujud dalam tindakan dan peri hidup setiap hari. Tanpamu dalam keutuhan, kelaki-lakian ini sebuah kemalangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun