Mohon tunggu...
Anton Kapitan
Anton Kapitan Mohon Tunggu... Guru - Seorang pegiat pendidikan yang menyukai diskusi dan debat

Anton Kapitan adalah seorang pemuda kelahiran Supun, TTU-Timor, NTT. Berjuang memaknai hidup dengan berpikir, berkata dan berbuat dalam spirit 4s. Mengupayakan sekolah kehidupan bagi anak-anak di pedalaman. Mengusahakan pendidikan sepanjang hidup. Pemimpi dari Timur untuk Indonesia dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Stop! Mengapa tidak?

2 Februari 2012   15:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:08 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi, sekiranya engkau berpribadi, akan segera kuambil nyawamu tanpa kompromi. Seandainya engkau berbadan, sudah tentu kucabik-cabik tubuhmu lalu kubagikan untuk burung-burung nasar agar segeralah kau lenyap dari pangkuan Ibu pertiwi. Kau memuakan aku, dia, kami, mereka. Dengan naluri kebinatanganmu yang meluap-luap kau hitam putihkan milik kami secara sepihak, termasuk cawat penutup aura kami. Memalukan. Memuakan. Menjijikan.

Tanpa berpikir panjang kau mendekap tuan-tuan terhormat negeri ini. Dekapan penuh kenikmatan dan belaian penuh kesenangan yang kau tunjukkan membuat mereka tak sungkan-sungkan menggadaikan martabat dan segala keagungan diri padamu. Terheran aku pada mereka. Bagaimana ini bisa terjadi? Bukannya mereka yang kami sanjung dan hormati sebagai pemimpin negeri adalah yang berbudi cemerlang, berhati bening dan selalu bertindak atas dasar kesadaran sebagai manusia yang sungguh manusiawi?

Demi menggapai puncak kenikmatan, mereka seolah tak berbudi cemerlang. Demi memenuhi segala keinginan duniawi, mereka tak peduli pada kata hati. Demi kepuasan di atas ranjang seks dan tahta kekuasaan, mereka rela tinggalkan kesadaran lalu hidup di bawah alam bawah sadar. Dengan begitu mereka lalu menghidupi korupsi tanpa beban sedikit pun. Di sana-sini mereka tak berbuat lain, selain mengambil, mengambil, dan mengambil bagian yang bukan miliknya. Entah ada kesempatan, atau dipaksa ada peluang, mereka selalu mencuri, mencuri dan terus mencuri. Tak peduli sejauh mana budi menghakimi dan hati nurani mengadili. Apalagi mau ambil pusing dengan jeritan dan tangisan-tangisan pilu anak-anak negeri, lantaran warisan satu-satunya yang diberikan ibu pertiwi, telah mereka ambil dan gunakan untuk pemuasan dirinya. Maaf saja ya. Budi cemerlangnya telah digadai tahta, sedang hati beningnya telah dirasuki ranjang kenikmatan.

Uh…Dasar anak biadab. Sekiranya, hari lahir mereka tak pernah tiba, tentu aku dan kita tak pernah menyaksikan ibu pertiwi meratapi dan mengutuki hari perkandungannya. Sekiranya, tuan-tuan dapat hidup menurut kehendak sejati yang selalu dikendalikan akal budi dan hati nurani, tentu anak-anak negeri tunduk dan hormat selalu pada mereka. Di sana dan di sini, di seantero nusantara, anak-anak negeri kan mengabadikan hidup, karya dan pengabdiannya, kalau mereka sadari martabatnya sebagai pemimpin negeri. Sudah diduga, anak-anak negeri tenteram dan sejahtera lahir-bathin kala tuan-tuan hidup sebagai anak kandung Indonesia, anak emas Sang Pencipta. Bahkan sudah dipastikan, ibu pertiwi akan menyediakan kandungannya untuk mengandung, dan melahirkan mereka lagi untuk kedua kalinya, ketiga kalinya dan seterusnya kalau mereka tak pernah menggadaikan kemanusiaanya pada korupsi.

Mari hentikan korupsi. Tidak sulit bagimu dan bagiku untuk menghentikan korupsi. Tidak sulit bagi kita, juga bagi mereka untuk mengakhiri korupsi di negeri kita. Tidak butuh teori itu dan ini. Tidak butuh KPK, juga aparat lainnya untuk menuntaskan korupsi di negeri ini. Kita tidak butuh sepeser pun untuk melenyapkan korupsi dari pangkuan ibu pertiwi. Hanya ini yang kita butuhkan. Aku, kau dan kita, dia dan mereka adalah anak-anak emas ibu pertiwi yang berbudi cemerlang, berhati nurani murni dan sangat bermartabat. Sudahkah kita sadari esensi kita ini? Sejauh manakah kita pertangungjawabkan kesadaran akan esensi mulia ini dalam hidup harian kita? Korupsi Stop! Mengapa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun