Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Spiritualisme yang Terlupakan

18 Juni 2011   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan masyarakat yang kian kapitalis, bahkan cenderung hedonis, rupanya tidak menyurutkan gairah sebagian masyarakat untuk menjalankan ritual keagamaan. Bahkan, ada kecenderungan ritual-ritual dan simbol – simbol keagamaan makin menguat. Hal ini dapat dilihat dari maraknya aktivitas dakwah dan keagamaan yang dilakukan secara masal seperti dzikir bersama atau tablig akbar. Acara televisi juga diramaikan dengan hiburan yang dibungkus dengan simbol-simbol dan ritual agama. Terkadang sisi hiburannya lebih menonjol ketimbang substansi dakwahnya (konteks lebih menonjol dari kontennya).

Sebagaimana disinyalir almarhum Gusdur (Abdurrahman Wahid), fenomena menguatnya simbol-simbol keagamaan merupakan respon balik akibat tekanan globalisasi. Namun menguatnya aktivitas keagaman yang mengedepankan ritual dan simbol tak urung mengundang kritik. Para pengkritiknya menilai yang penting substansi, bukan simbol atau ritual. Mereka juga berkeyakinan agama itu urusan pribadi, sehingga tidak perlu direfleksikan secara sosial dengan berlebihan.

Kritik dari kalangan substansialis ini sepertinya ada benarnya. Yang namanya agama memang identik dengan ritual dan simbol – simbol. Namun yang namanya ritual dan simbol sifatnya nisbi (relatif), yang paling fundamental adalah substansi yang dikandung dari ritual dan simbol. Namun para pengkritiknya rupanya lupa, bahwa kegairahan yang berlebihan pada simbol dan ritual juga tengah terjadi pada segi kehidupan lainnya.

Sebagian masyarakat lari dari tradisi agama, karena bidang kehidupan lain lebih menggiurkan dan memberi solusi atas permasalahan mereka. Ini tidaklah mengherankan karena wacana-wacana keagamaan yang lebih sering mengemuka masih berupa janj-janji, tentang surga dan neraka misalnya. Berbeda dengan yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh manusia.

Sekarang mulai muncul ungkapan bernada gugatan pada agama, apakah manusia masih perlu berdoa atau meminta pertolongan Tuhan, kalau semua persoalan manusia sudah bisa diselesaikan dengan teknologi. Ada juga yang mengatakan, manusia tidak perlu berdoa, yang penting terus berpikir untuk menemukan solusi atas berbagai permasalahan kehidupan umat manusia. Tidak bisa dipungkiri kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah telah memperbaiki kualitas hidup manusia. Namun hal ini bukan berarti tanpa ekses. Saat ini muncul gejala “pemujaan” yang berlebihan pada ilmu pengetahuan dan apa saja yang diproduksi manusia. Masyarakat memperlakukan semua hasil kreasi manusia seolah-olah agama (pseudo agama).

Alih-alih membebaskan diri dari ritual-ritual dan simbol agama yang dianggap mitos, masyarakat justru terjerat pada mitos-mitos baru. Fanatisme yang berlebihan pada suatu merek, hanya salah satu contoh mitos baru di kalangan masyarakat modern. Ada yang saking cintanya pada suatu merek, sampai-sampai membentuk komunitas suatu merek. Di situ mereka secara berkala melakukan “ritual” pertemuan berkala sebagai penegasan aktualisasi komunitas mereka. Ada juga yang memperlakukan benda kesayangan mereka layaknya benda keramat yang harus dijaga dan dirawat secara telaten. Mengunjungi mal kini sudah menjadi ritus yang harus dilakukan, entah seminggu sekali atau sebulan sekali.

Meminjam ungkapan Karl Max, agama adalah candu bagi masyarakat. Masyarakat yang terlalu terpukau dengan gaya hidup modern berpotensi terjerumus pada candu baru. Candu baru itu adalah gaya hidup modern yang sudah menjelma menjadi pseudo agama. Inilah titik bahayanya, karena masyarakat akan terjerambat pada penghambaan materi dan non materi di luar dirinya. Padahal, inilah yang menjadi titik sentral gagasan agama samawi. Konsep monoteisme (tauhid) ingin membebaskan manusia atas penghambaan atas nama apapun, kecuali penghambaan dan penyerahan diri pada Tuhan (Allah).

Mereka yang selama ini tengah terjerat pada pseudo agama, suatu saat saat akan mengalami fase kekosongan spiritual. Di sisi lain, mereka yang selama ini terlalu mementingkan formalisme agama suatu saat akan mengalami kemandekan dan kekeringan spiritual. Mengapa? Karena spiritual merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada setiap manusia. Mengabaikan kebutuhan ini berarti mengingkari kodrat manusia, karena manusia selain sebagai mahkluk biologis juga merupakan makhluk ruhani atau spiritual.

Kesimpulannya, tanpa mengenyampingkan sisi ritual agama dan tuntutan modernitas, spiritualisme adalah jalan yang harus kita tempuh bersama untuk menyelamatkan Iman manusia pada Tuhan (Allah). Hanya masalahnya Iman kepada Tuhan adalah sebuah gagasan yang tidak pernah selesai. Tidak ada titik akhir. Manusia terus mencari dan mengungkap tabir misteri kekuasan Tuhan. Itulah sebabnya pergulatan spiritualisme menuju Tuhan menjadi sangat mengasyikkan bagi sebagian orang, sampai-sampai budayawan Gunawan Muhammad menulis buku berjudul “Tuhan dan Masalah-Masalah Yang Tak Selesai”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun