Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Joki 3 in 1 dan Drama Satir Kaum Urban

25 April 2011   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah perdebatan sengit membahas kemacetan lalu lintas DKI Jakarta, fenomena joki 3 in 1 (three in one) hanya sayup-sayup terdengar. Mungkin karena menyangkut kaum marginal, sehingga fenomena joki 3 in 1 hanya muncul sekelebatan dari narasi besar transportasi publik di Jakarta. Joki 3 in 1 sebenarnya hanya dampak dari kebijakan 3 in 1 di ruas Jalan Sudirman – Thamrin. Kebijakan ini mewajibkan kendaraan yang meluncur di dua ruas jalan tersebut berpenumpang minimal tiga orang (termasuk supir) pada jam-jam tertentu. Tujuannya mengurangi volume kendaraan yang melintas di ruas jalan tersebut, dengan harapan akan mengurangi kemacetan

Seperti kebijakan-kebijakan lalu lintas yang telah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, sebelum diimplementasikan peraturan 3 in 1 juga menuai banyak kritik. Saya ingat beberapa tahun lalu seorang pengamat melalui surat kabar Kompas menilai peraturan ini sebagai solusi tidak cerdas dari Pemda DKI. Dia memprediksi andaikata jadi diberlakukan, bukan tidak mungkin pengendara mobil akan menggunakan boneka mirip manusia untuk mengelabui polisi.

Setelah sekian tahun berjalan, kita memang tidak melihat pengendara mobil menggunakan boneka. Lagi pula kalau ingin menggunakan boneka pilihannya apa? Apakah manekin? boneka seukuran manusia yang sering kita jumpai di etalase mal - mal.Rasa-rasanya kok repot kalau harus menaikan dan menurunkan manekin, dan Polentas kita masih cukup jeli membedakan mana manekin dan manusia, meskipun dari kejauhan. Yang muncul justru adalah “profesi” joki 3 in 1. Mereka menawarkan jasa menjadi penumpang bagi mobil-mobil yang hendak melintas di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, yang berpenumpang kurang dari tiga orang (berikut supir).

Meskipun belum ada data pasti berapa jumlah joki 3 in 1. Jumlah mereka saya perkirakan cukup banyak. Cobalah tengok sepanjang jalan akses menuju Sudirman-Thamrin menjelang jam-jam diberlakukannya 3 in 1, seperti jalan Pakubowono, Senopati, Diponegoro, dan Imam Bonjol. Kehadiran mereka kerap menggangu kelancaran lalu lintas karena mereka sering berdiri di badan jalan untuk menawarkan jasanya. Jadi, tujuan Pemda DKI untuk mengurangi kemacetan lalu lintas sepertinya tidak tercapai, karena yang justru terjadi bertambah semrawutnya jalan akses Sudirman-Thamrin. Peraturan 3 in 1 juga tidak menyurutkan pengendara mobil untuk melintas jalan Sudirman-Thamrin, karena toh joki 3 in 1 siap membantu.

Menurut saya fenomena 3 in 1 bukan hanya menyiratkan kegagalan Pemda DKI menciptakan peraturan lalu lintas yang cerdas dan solutif. Fenomena ini juga menciptakan kepedulian sosialyang“terpaksakan” di kalangan kelas menengah metropolitan. Ini barangkali menjadi Blessing in disguise dari peraturan 3 in 1.

Kelas menengah atas metropolitan yang selama ini dikenal individualistis dan egois, harus berbagai tumpangan kepada mereka yang sama sekali mereka tidak kenal dan berbeda status sosial. Sudah begitu mereka masih harus merogoh kocek sekitar Rp 10.000-Rp 30.000 untuk membayar jasa joki 3 in 1. Mereka rupanya lebih ikhlas membayar joki 3 in 1,ketimbang berurusan dengan polisi dan membayar denda tilang.

Bagi joki 3 ini 1 kesempatan ini tentu menjadi pengalaman untuk menikmati sensasi naik mobil mewah. Jangankan bercita-cita punya mobil mewah seharga ratusan juta rupiah, mimpi punya mobil mewah pun mereka tidak berani. Kapan lagi naik mobil bersama supir, tuan/nyonya, dan setelah itu masih menerima bayaran lagi. Kemunculan joki 3 in 1 juga menambah daftar panjang masyarakat kelas bawah yang mencari rezeki dari masyarakat menengah atas.Kalau sebelumnya kita mengenal profesi satpam, baby sitter, pembantu atau tukang kebun, maka kini muncul profesi Joki 3 ini 1.

Kalau di atas saya katakan Joki 3 in 1 sebagai profesi memang betul adanya, saya pernah ngobrol dengan seorang pria yang ternyata bisa hidup dari menjoki. Profesi di sini dalam pengertian sandaran hidup. Kebetulan istrinya juga berprofesi sebagai Joki 3 in 1. Dari hasil men-joki dia bisa mengontrak rumah dan menafkahi seorang anak. Penghasilan per hari katanya sekitar Rp 30.000 -Rp 70.000. Kalau digabung berarti sekitar Rp 60.000 – Rp 140.000 perhari. Jadi,total penghasilan dalam sebulan tinggal kalikan 25 hari kerja saja.

Ternyata peraturan 3 in 1 yang menjadi bahan tertawaan banyak kalangan, ternyata menimbulkan efek samping filantropi. Peraturan 3 in 1 menjadi instrumen redistribusi pendapatan masyarakat kelas menengah atas ke masyarakat bawah. Hebat Indonesia, dari regulasi lalu lintas yang asal-asalan saja bisa menciptakan redistribusi pendapatan. Bagaimana dengan regulasi bidang lain yang andaikata dirancang dengan benar dan serius. Atau jangan-jangan peraturan 3 in 1 justru menyiratkan kesemrawutan dan kemalasaan berpikir kita. Misalnya nanti peraturan ini akan dihapuskan, terus muncul demo penolakan karena berdampak positif pada masyarakat bawah dan belum tersedianya transportasi publik yang andal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun