Orang yang sedang menunggu di bandara, mungkin akan berfoto bersama pacar atau keluarga mereka. Lalu di-posting di media sosial dengan dengan untaian kata "OTW Bali, Singapura, Malaysia, Korea. Raja Ampat, Lombok, Belitung, Jepang....I'm Coming" dengan pose mulut dimonyongkan atau senyum lebar yang dipaksakan. Sebuah proses menunggu yang keren bukan? Karena mereka akan pelesir ke tempat-tempat jauh yang bagi kebanyakan orang Indonesia masih menjadi mimpi.
Mengapa ada kosa kata menunggu? Karena manusia selalu bergerak untuk mencari atau mencapai sesuatu yang dinamakan harapan atau impian. Harapan ini tidak berujung dan tak akan pernah mencapai titik akhir. Tapi problemnya proses mencari atau mencapai sesuatu bukan hanya melelahkan tapi juga mengandung ketidakpastian.
Ini bukanlah sikap pesimisme, walaupun kita sering dengar ungkapan, "proses (kerja keras) tidak akan pernah menghianati hasil". Okelah, Anda bekerja keras untuk menjadi dokter, lalu kesampaian. Tapi belum ada jaminan Anda akan menjadi dokter hebat kaya raya, tidak melakukan malpraktek, dan menjadi pembicara seminar kesehatan di mana-mana.
Coba telaah, melelahkan dan ketidakpastian adalah dua hal yang dihindari oleh kebanyakan orang, atau paling tidak dua kata itu menimbulkan ketidaknyamanan. Anda rela berlelah-lelah mengejar impian, namun begitu dihadapkan pada ketidakpastian hasil, Anda frustasi atau minimal menggerutu. Karena itu, penting ada nilai atau norma yang membimbing setiap langkah kita.
Bagi kita yang katanya bangsa relijius, norma paling dominan bersumber dari agama. Norma itu harusnya membimbing kita setiap saat. Tapi manusia sering lupa, baru ingat pada norma agama ketika sedang berada dijurang ketidakpastian. Karena itu, seketika Anda mengunjungi kyai atau ustad (bagi Muslim) untuk meminta subsidi motivasi berupa doa-doa atau wejangan.
Bolehkan manusia merasa lelah menunggu? Menurut saya boleh. Bahkan sangat boleh. Manusia perlu melakukan reses dari hiruk pikuk kehidupan. Â Gunakan masa lelah ini untuk menjernihkan pikiran guna mendapatkan persepektif baru dalam menjalani hidup. Bagi yang Muslim, agama Islam menawarkan salah satu jalan pragmatis untuk mengatasi kelelahan dalam menunggu.
Caranya dengan melakukan aktifitas "menunggu". Lho kok? Iya caranya setelah lelah bekerja, datangi masjid terdekat kantor, sholat Magrib dan jangan beranjak sampai sholat Isya. Gunakan waktu jeda antara Magrib dan Isya dengan merenung, berpikir, dan berdzikir sambil menunggu lalu lintas agak lengang. Kata kyai saya yang mengajarnya pakai kitab kuning, amalan ini banyak pahalanya. Mana dalilnya? Cari sendiri. Karena saya mengaji bukan untuk menghapal dalil, karena daya hapal sudah menurun. Namun untuk mencari subdisi energi dan mempraktikannya semampu saya. Â Â
Tunggu dulu, kok sarannya jadi sublimatif dan sektarian begini. Mana kekuatan daya pikir dan daya nalar manusia? Saya katakan lari kepada Tuhan bukan untuk menanggalkan akal sehat atau menumpulkan nalar, namun melapor kepada Tuhan bahwa otak yang Dia berikan belum mampu menyibak berbagai ketidakpastian di dunia. Dan kita mohon bimbingan Nya agar mampu mendayagunakan otak kita dengan optimal. Walhualam bi shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H