Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Money

“Consumnationalism”: Konsumen Yang punya Jiwa Nasionalisme

28 Maret 2012   05:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_178797" align="aligncenter" width="300" caption="foto Istimewa"][/caption]

Saya tergerak menulis ini setelah membaca tulisan Yuswohady, pengamat marketing di Majalah Warta Ekonomi.Di situ Yuswohadiy mengungkapkan kegalauannya pada konsumen Indonesia yang sangat gandrung pada produk – produk luar negeri, seraya memandang rendah produk – produk dalam negeri.

Dia memberi contoh kasus mobil Esemka. Banyak masyarakat Indonesia yang mengolok – olok mobil made in Solo tersebut dan membanding – bandingkannya dengan mobil Jepang. Padahal sungguh tidak fair membandingkan Esemka dengan mobil Jepang yang sudah memasuki fase industri berpuluh – puluh tahun. Esemka hanyalah mobil kemarin sore buatan anak – anak SMK di Solo. Lulus uji emisi saja belum.

Kegilaan konsumen Indonesia pada produk luar negeri memang tergolong parah. Apa saja yang datang dari luar negeri langsung diserap, dari produk makanan , elektronik, mobil, sampai produk budaya seperti film dan musik. Apa saja yang didatangkan dari luar negeri dianggap lebih bergengsi dan berkelas. Padahal bukan tanpa risiko terlalu bergantung padaproduk luar negeri.

Buat Indonesia yang pertumbuhan ekonominya bergantung pada konsumsi, amat berbahaya jika terlalu banyak uang dibelanjakan untuk membeli produk asing, termasuk produk asing yang diproduksi di sini, tapi kandungan lokalnya sangat kecil. Risikonya tentu saja matinya produk – produk dalam negeri . Di lain pihak keuntungan dari aktivitas perdagangan di dalam negeri banyak dinikmati oleh produsen asing. Jadi, di balik tingginya tingkat konsumen, porsi terbesar keutungan diraih perusahaan asing.

Masih rendahnya penghargaan konsumen Indonesia terhadap produk negeri sendiri, disadari betul pengusaha Indonesia. Sehingga terkadang mereka menyiasatinya dengan menggunakan merek berbau asing. Polytron, Lea, Maspion, Polygon, Byon, Thomkins, J.CO Donuts and Coffe, Zyrex adalah deretan –deretan produk lokal yang mencoba “mengelabui” konsumen Indonesia dengan nama merek berbau asing.

Sentimen konsumen Indonesia terhadap produk asing memang rendah. Ini yang membuat Chief Marketing Officer ,ABC Alkaline yang sempat saya wawancari beberapa waktu lalu mengatakan enggan menyinggung merek lokal dalam aktivitas marketingnya karena tidak memberikan benefit apapun.

Kita memang suka geregetan dengan karakter konsumen Indonesia yang terlalu memanjakan produk asing. Ketika meluncurkan film animasi Dufan Defender, Direktur Utama Ancol, Budi Karya Sumadi berulang – ulang menegaskan film serial buatan animator lokal ini bukan semata – mata untuk Ancol, tapi untuk dunia animasi Indonesia. Film ini katanya punya tujuan mulia membangkitkan industri film animasi lokal. “Masa Upin dan Upin yang begitu saja digemari” katanya.

Nasionalisme konsumen Indonesia, ini sepertinya yang mesti dibangkitkan di masyarakat Indonesia. Kita tidak perlu takut dikatakan bangsa yang chauvinistic (nasionalisme sempit), karena hampir semua bangsa melakukannya. Jepang, China, Korea, Perancis, Jerman adalah negara – negara yang sangat melindungi industri dalam negerinya dan menganjurkan masyarakatnya agar menggunakan produk lokal.

Kita tidak perlu bergantung pada siapa pun, termasuk pemerintah, karena pemerintah sering ragu – ragu dan tidak berdaya menghadapi korporasi asing. Lihat saja proyek Esemka, bisa jalan tanpa dukungan pemerintah. Lagi pula nasionalisme bukan hal asing bagi kita, karena bangsa kita dikenal sebagai bangsa pejuang. Kalau dulu nasionalisme identik dengan sikap kepahlawanan mengusir penjajah dengan bambu runcing, sekarang kita hanya perlu mentransmisikan sikap – sikap tersebut ke bidang ekonomi. Caranya? Belilah produk – produk lokal. Bayangkanlah nasib pekerja yang telah memproduksi barang – barang tersebut. Dengan membeli produk dalam negeri, berarti kita turut memberi nafkah para pekerja yang terlibat di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun