Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

“Dakwahtainment”: Funky dan Narsis

12 Desember 2011   05:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:28 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_155476" align="aligncenter" width="150" caption="Ustad Maulana. Foto: Istimewa"][/caption] Program – program dakwah Islam di TV saat ini banyak diisi oleh dai – dai muda. Pemirsa program dakwah di tanah air tentu kenal dengan ustad Maulana yang gayanya, maaf agak kewanita-wanitaan. Ustad yang kerap berpeci hitam ini terkenal dengan sapaan khas, “Jamaaah…ohhhh Jamaaah…Alhamdulillah atau “kita saksikan yang mau lewat dulu,” sambil memutarkan badan, saat akan selingan iklan.

Ada juga ustad Solmed, namanya terkesan funky diucapkan di lidah (seperti mengucapkan soul mate) dan marketable (menjual) di mata orang showbiz. Solmed itu singkatan dari Soleh Mahmud. Menurut saya gaya dakwahnya mirip – mirip dengan Uje (Ustad Jeffry Albuchory). Kebanyakan orang sepertinya lebih banyak tahu seputar gosipnya, ketimbang materi dakwahnya. Ustad yang memelihara jenggot ini terkenal dengan slogan are you ready…?

Seperti Ustad Maulana,Ustad Solmed juga kerap memboyong artis sebagai bintang tamu. Format dakwanya juga sama. Mereka mendatangkan beberapa orang di lokasi dakwah sebagai penonton dan mereka diberi kesempatan untuk bertanya.

Mungkin karena ingin mendekatkan diri dengan segmen anak –anak muda mereka sering menyelipkan bahasa gaul dalam dakwahnya. Terkadang mereka melucu-lucukan materi dakwa, meski belum tentu lucu bagi mereka yang mendengarkannya. Inilah era dakhwatainment, program dakwah yang menggabungkan pesan-pesan dakwah dengan hiburan.

Ya, apa boleh buat di tengah ketatnya persaingan antar program TV untuk memperebutkan pemirsa, produser dakwah mesti pintar- pintas mengemas program dakwahnya. Kalau perlu dakwah harus dikemas dengan funky dan pendakwah mesti mengeksploitasi penampilannya, narsis, dan bila perlu melawak sekalian biar penonton tidak jenuh dan terhibur. Seperti yang dilakukan oleh ustad Ahmad Ikhsan. Ustad yang dikenal dengan julukan Cepot ini juga kerap tampil di TV dengan menirukan gaya Cepot, tokoh pewayangan asal Jawa Barat.

Soal kemasan dakwah memang tidak bisa anggap remeh, apalagi jika dakwah dilakukan di TV, medium yang menggabungkan unsur visual dan audio. Namun ada yang jauh lebih penting yang harus diperhatikan para dai dan produser program dakwah, yakni substansi materi dakwah. Tentu kita tidak ingin mendengarkan dakwah seperti minum kopi di café, keluar dari café tidak ada yang tersisa.

Kita ingin dakwah yang mencerahkan dan memberikan pesan moral yang kuat untuk menyadarkan masyarakat agar memandang hidup dengan seimbang antara duniadan akhirat, mengingatkan mereka yang tengah mabuk kekuasaan, mabuk kekayaan, membangkitkan harapan masyarakat yang sedang putus harapan, dan pemihakkan kepada mereka yang lemah, yang diizhalimi harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dakwah bukan melulu bicara soal haram dan halal, apakah hukumnya perbuatan ini, apa pahalanya melakukan itu. Tanpa mengecilkan semarak dakwah TV, menurut saya dakwah di TV terlalu fiqih oriented, dan kurang menyentuh akar permasalahan di masyarakat. Meski harus tetap mengacu pada Qur’an dan hadist, dakwa harus memberi rangsangan bagi masyarakat bagaimana mengatasi problema kehidupan secara cerdas dan rasional. Dakwah harus bisa “membumikan “ pesan - pesan Alquran, menurut istilah Quraish Shihab. Sekuralisasi nilai - nilai Islam meminjam istilah almarhum Nurcholish Majid. Sekuralisasi di sini bukan berarti membuang nilai – nilai Islam yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tapi mengambil intisari substansi ajaran Islam untuk diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Dekade 90-an dakwah di TV lebih semarak dengan materi dakwah jauh yang lebih subtansial. Periode itu ada Nurcholish Majid yang menyentil kesewang – wenangan penguasa dan dengan cerdas mengungkapkankeunggulan dan kebesaran Islam.

Ada Alwi Shihab yang memberi pemahaman pluralitas agama dan tradisi dan kebudayaan masyarakat Islam. Jalaluddin Rahmat yang menawarkan sufistik Islam untuk mengatasi problema masyarakat modern. Lalu, ada juga Kyai Said Aqil Siradj, sekarang ketua PBNU, yang menyajikan dakwahberwawasan kebangsaan.

Kesimpulannya dakwah boleh semarak, tapi tanpa kedalaman makna dan substansi, dakwah menurut saya tak akan banyak mengubah perilaku masyarakat. Walllhualam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun