Seorang lelaki tua, umurnya mungkin sekitar 50 tahunan, jongkok di belakang meja resepsionis lantai 24 salah satu kantor pusat bank besar di Jakarta. Dari penampilannya terliat ia orang biasa saja, malah terkesan kampungan. Ia lebih memilih berjongkok di belakang meja resepsionis, ketimbang duduk di kursi ruang tamu yang empuk.
Setelah menerima selembar uang kertas ia beranjak meninggalkan ruang resepsionis. Sambil menggamit koran ia bergegas menuju lift .Tampaknya ia seorang loper Koran. “Mengantar invoice ya mas” kata resepsionis ketika aku menyerahkan satu amplop berkas-berkas. Sudah dua kali aku mendengar kalimat seperti itu tiap kali hendakmengantar berkas kerja.Sebenarnya aku agak kesal juga dibilang mau mengantar invoice, sebab kesannya aku ini kurir. Mungkin karena penampilan aku mirip kurir kali.
Aku memberanikan diri menyapa lelaki itu di depan pintu lift. “ Ngantar koran yapak”?. Iya, sudah 30 tahun lebih saya menjual koran di sini, sejak tahun 1969. Sudah tiga kali ganti direktur, dan semuanya sudah meninggal,” katanya. Loh, jadi gedung ini sudah ada sejak tahun 1969” tanya saya dengan heran. “ Oh, kalau di gedung ini sejak 1978, dulu saya jualannya di daerah Kota,” jawabnya.
Sebenarnya saya tertarik mengorek lebih dalam lelaki yang menurut saya hebat ini. Tapi berhubung saya dan dia masing-masing punya urusan kami berpisah begitu tiba di lantai dasar. “Ya, ampun bagaimana ada sesorang begitu setia menjalani profesi hingga 30 tahun lebih, dan cuma jualan koran,” aku membatin. Bagaimana dia melawan jenuh dan apakah tidak ada pilihan profesi lain baginya.
Aku memetik pelajaran berharga dari pertemuan singkat itu. Menurutku pasti ada sesuatu yang berharga pada diri orang tersebut, sehingga dia tetap setia menjalani profesi yang menurut orang lain dianggap tidak penting. Apa itu? Cinta. Cinta terhadap pekerjaan, cinta terhadap keluarga, dan cinta dan anak istri. Kalau kita sudah mencinta pekerjaan, maka urusan uang menjadi nomor sekian. Kalau kita sudah mencintai keluarga (anak dan istri), maka profesi apapun akan dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan penuh keiikhlasan. Karena manifestasi cinta terhadap keluargaantara lain diwujudkan dengan aktivitas mencari nafkah, tentu saja yang halal.
Saya jadi menggugat diri saya.Kenapa saya kadang bosan dengan pekerjaan, kenapa saya tidak sabar menunggu agar anak-anak di rumah cepat dewas dan mandiri, sehingga saya pensiun dari pergulatan menafkahi anak- istri. Alangkah kerdilnya dan tidak sabarannya saya.
Ingatan saya pun meloncat beberapa tahun silam ketika saya bertemu dengan seorang pembuat batu cincin di kawasan Blok M, yang ternyata mantan pegawai negeri. Dia rela meninggalkan pekerjaan sebagai PNS—yang menurut orang kebanyakan nyaman—karena lebih senang menjadi perajin batu cincin. Ia merasa passion kerjanya lebih pas menjadiperajin batu cincin meski penghasilannya tidak pasti.
Kalau dipikir-pikir, kehidupanini mirip batucincin yang masih kasar dan belum berbentuk.Perlu ketelatenan dan presisi tinggi untuk membentuk dan menggosok batu cincin agar cocok dikenakan di jemari tangan. Kehidupan pun begitu, semakin sabar kita menyiasati dan menjalani kehidupan, maka lambat laun kita akan menemukan makna kehidupan yang hakiki. Kebosanan adalah mesin waktu yang menakutkan dan bisa membunuh kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H