Mohon tunggu...
Tony Rosyid
Tony Rosyid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat Politik

Pengamat Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lima Manfaat Ketika Ibu Kota Pindah

28 Agustus 2019   19:50 Diperbarui: 28 Agustus 2019   20:01 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lima Manfaat Ketika Ibu Kota Pindah

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Ibu kota pindah? Ya! Jangan kaget. Wacana sejumlah presiden untuk memindahkan ibu kota gagal. Baru serius di era Jokowi. Serius? Betul! Sudah ditetapkan anggarannya. Lokasi pindah sudah ditentukan. Rencana pembangunan sudah dijadualkan. Anggarannya 466 triliun. Pindah di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kertanegara. Dan waktu pembangunannya dimulai tahun 2020. Serius bukan?

Ini sejarah yang harus dicatat. Jokowi bukan presiden yang suka wacana. Konkret! Ada ide, jalankan. Sudah matang atau tidak gagasan itu, sambil jalan saja. Yang penting berani. Sesuai tagline: kerja kerja dan kerja. Konkret. Indonesia butuh presiden yang kerja, bukan presiden yang berwacana. Dan itulah kelebihan Jokowi. Bagaimana dengan mobil Esemka dan puluhan janji kampanye dulu? Itu soal lain. Lupakanlah! Toh Jokowi sudah terpilih jadi presiden untuk kali kedua. Oktober akan dilantik. Artinya, rakyat telah melupakannya. Jadi, jangan ungkit-ungkit janji politik 2014. Itu masa lalu. Sudah lewat. Anda tak lagi bisa menagih, sudah kedaluwarsa. Kecuali entar di akhirat. Semoga ada malaikat yang mau membela anda.

Pindah ibu kota, itu konkret. Kenapa pindah? Karena Jakarta banjir, macet dan rawan bencana. Ibu kota bisa tenggelam kalau tetap di Jakarta. Karena alasan ini, ibu kota mesti pindah. Selain tiga faktor itu, perpindahan ibu kota juga demi alasan pemerataan.

Banjir? Tidakkah beberapa tahun ini banjir mulai bisa diatasi? Ritual banjir bandang lima tahunan sudah tak lagi terjadi. Wilayah berdampak makin berkurang. Begitu juga jumlah korban. Banjirpun tak lama seperti sebelumnya. Genangan air segera surut. Teknologi pompa makin efektif bekerja. Artinya, ada progres yang baik. Terjadi penurunan dan pengurangan yang signifikan. Belum lagi dua waduk pengendali banjir yang dibangun di Bogor akan rampung Desember ini. Masih tepatkah banjir jadi alasan?

Macet? Tidakkah setelah program ganjil genap diberlakukan, menambah jumlah dan memperbaiki pelayanan busway, beroperasinya MRT, LRT dan diterapkannya sistem transportasi Jaklingko, kemacetan di Jakarta mulai pelan-pelan bisa diatasi. Dari peringkat empat kota termacet, naik jadi peringkat ketujuh. Dari 61 persen menjadi 53 persen. Turun 8 persen. ( TomTom Traffic Index). Warga yang menggunakan kendaraan umum naik. Targetnya di 2030, 75 persen warga Jakarta naik angkutan umum. Ketika Jakarta telah berbenah dalam mengatasi kemacetan, dan ternyata cukup signifikan hasilnya, kenapa jadi alasan pindah ibu kota?

Gempa? Mana ada wilayah Indonesia yang bebas gempa? Kaltim?Hasil penelitian LIPI mengungkap bahwa Kaltim juga rawan gempa. Kalau mau wilayah bebas gempa, ya Beijing. Mana itu? Ibu Kota China.

Demi pemerataan? Pertanyaannya: apakah pemerataan harus pindah ibu kota? Tidakkah pembangunan infrastruktur dan tol laut bisa jadi alternatif? Ini sudah jadi kebijakan pemerintah sekarang. Mestinya tak perlu dianulir dan disangsikan lagi. Lanjutkan dan konsisten saja. Istiqamah! Jangan bilang gagal, lalu ganti kebijakan.

Dari empat alasan ini, tentu tak ada yang urgen dan fundamental untuk pindah ibu kota. Justru sebaliknya, risiko pindah ibu kota akan jauh lebih besar, bahkan bisa berbahaya. Kok bahaya? Jika ibu kota nanti sepi seperti di Brazil dan Myanmar, para ASN pada pensiun dini karena gak mau ikut pindah, apakah mau balik lagi ke Jakarta? Lalu aset-asetnya dijual ke asing? Jadi pangkalan militer China misalnya. Kan bahaya!

Jakarta dipilih jadi ibu kota karena penduduknya multi etnis. Sebelum jadi Ibu kota, Jakarta sudah jadi tempat bagi representasi seluruh etnis dan suku bangsa. Ini yang jadi pertimbangan mengapa Soekarno memilih Jakarta jadi Ibu Kota. Bahasa Melayu yang dipilih jadi bahasa nasional, karena egaliter. Dua alasan ini cukup bagi Soekarno untuk membangun kebudayaan dan peradaban khas Indonesia yang berbasis pada kebhinekaan. Kalau pindah ibu kota, dua basis ini bisa saja tercerabut dari akarnya. Kalau kebhinekaan sampai tercerabut, tinggal tunggu Indonesia bubar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun