MASYARAKAT sudah lama merasakan, menyaksikan, bahkan bersentuhan dengan benih-benih radikal yang dipamerkan di ruang publik, oleh individu-individu tertentu.
Individu-individu tertentu itu, bukan dari masyarakat biasa. Ada kalangan pendidik, rohaniwan, pamong praja, cendekia, termasuk individu yang bertugas menjaga keamanan ideologi negara, baik yang masih aktif maupun sudah purna.
Meski galau, masyarakat tidak punya saluran untuk menyampaikan kekhawatirannya.
Masyarakat juga tidak punya keberanian yang memadai untuk mengekspresikan sikapnya yang sudah pasti berseberangan dengan para penebar benih radikal yang intoleran itu.
Apalagi kalau para penebar benih radikal yang intoleran itu berasal dari kalangan berseragam-bersenjata dan keluarganya. Rasa takut itu kian kokoh.
Jumlah mereka memang tidak mayoritas, tapi punya daya pengaruh yang tidak biasa. Ibarat busi pada sistem perapian kendaraan. Ibarat percikan api yang berpotensi membakar sebuah kawasan.
Percikan itu kian banyak, Jenderal. Hampir di semua ruang publik. Kami hanya bisa melihatnya dengan mulut ternganga seperti menyaksikan kembang api, namun dengan perasaan ngeri. Kami ngeri membayangkan perkembangannya yang destruktif.
Cepat atau lambat percikan itu akan membakar kita semua, memusnahkan yang baik-baik, menyisakan arang dan abu kehidupan bagi anak bangsa.
Sikap tegas Jenderal Andika menegakkan disiplin militer terhadap kalangan sendiri, serta mendorongnya pada proses hukum yang semestinya, ibarat rangkaian doa kami yang dikabulkan Tuhan Yang Maha Mengerti.
Sudah sejak lama kami menunggu, menanti dengan penuh harap, ada ketegasan sikap dari para komandan di masing-masing sektor, sipil maupun militer, untuk memadamkan percikan sebelum berkobar menjadi lautan api.
Terimakasih Jenderal Perkasa. Semoga upaya tersebut terus mengelinding bagai bola salju yang kian membesar.