Bagaimana membuktikan keberadaan, eksistensi atau wujud Tuhan? Pertanyaan tersebut dapat ditanggapi dengan berbagai tanggapan. Ada yang mengatakan Tuhan itu ada di hati, cukup diyakini, jangan dipertanyakan. Seorang atheis tentu menertawakan tanggapan semacam itu. Selain jawabannya tersebut tidak metodologis, hati berfungsi untuk menetralisir racun. Eksistensi Tuhan tentu tidak sedangkal itu. Adapula yang menjawab dengan dukungan teks kitab suci. Jawaban inipun belum kuat. Jangankan kitab suci, agama saja tidak diyakini oleh kaum atheis. Lagian, kitab suci agama yang satu tidak menutup kemungkinan memberikan jawaban berbeda dengan kitab suci agama yang lain. Diperlukan sebuah jawaban yang dapat diterima akal sehat manusia secara universal, mutlak dan obyektif.
Argumentasi tentang Keberadaan Tuhan
Secara garis besar terdapat tiga argumentasi atau pembuktian logis tentang keberadaan tuhan. Diantaranya;
1)Argumen Ontologis
Dipelopori oleh plato dan al farabi. Plato berkata bahwa terdapat ide tertinggi yang diberi nama ide kebaikan atau The Absolute Good; Yang Mutlak Baik. Sementara al Farabi berkata bahwa hanya ada satu yang Wajib Ada. Selain wajib ada ini, pastilah mustahil ada. Kecuali, Wajib Ada memberikan keberadaan kepada Mustahil Ada. Sehingga yang Mustahil Ada menjadi Mungkin Ada karena diberikan keberadaan oleh yang Wajib Ada. Keberadaan yang Mungkin Ada bergantung pada yang Wajib Ada. Jika yang Wajib Ada mencabut keberadaan pada yang Mungkin Ada, maka yang Mungkin Ada menjadi Mustahil Ada. Kesimpulannya, tidak ada Yang Ada kecuali Yang Ada itu sendiri. Wajib ada yang dimaksud di sini disebut sebagai Tuhan.
Bagaimana bisa gagasan nonmateri, empiris atau tidak dapat diinderai seperti Tuhan dapat hadir di akal? Jika tidak mempunyai realitas, tentulah Tuhan tidak dapat dihukumi kebenaraan eksistensinya. Seperti kata Karl Marx; bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Maka, diperlukan kerangka berpikir yang tepat untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Adapun metode yang dimaksud adalah prinsip niscaya lagi rasional yaitu; Prinsip Kausalitas dan Prinsip Identitas. Kausalitas adalah suatu hubungan yang dimana setiap akibat pastilah bergantung pada sebab. Kausalitas mendahui pengalaman inderawi (Arianto Ahmad; Landasan Dan Kerangka Berpikir Ilmiah dan Filosofis; hal 175).
Sementara Prinsip Identitas atau Non-Kontradiksi adalah suatu hukum berpikir yang menyatakan bahwa sesuatu hanya identik dengan dirinya sendiri. Maka, sesuatu mustahil identik dengan yang lain. Argumen Ontologis sejalan dengan prinsip identitas bahwa hanya terdapat satu yang Ada (Tuhan). Jika ada dua yang ada (Tuhan), tentu tertolak di akal. Karena kita tidak dapat membedakan mana Tuhan yang sesungguhnya dan bisa saja terdapat tumpang tindih kekuasaan antara dua tuhan tersebut. Secara ontologis dan sejalan dengan hukum berpikir prinsip Identitas, Tuhan haruslah Esa.
2)Argumen Kosmologis
Argumen ini dipelopori oleh Aristoteles. Lebih lanjut, Aristoteles menyatakan bahwa setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh penggerak. Penggerak tersebut juga digerakkan oleh penggerak lainnya. Begitu seterusnya hingga berujung pada Penggerak Pertama yang tidak digerakkan. Karena jika Penggerak Pertama tidak ada, maka tidak ada pula yang menggerakkan gerak. Dan jika Penggerak Pertama juga digerakkan, maka ia tidak dapat dikatakan Penggerak Pertama. Gerak adalah berpindahnya titik potensi menuju titik aktual yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Titik potensi berupa materi yang terus bergerak. Sementara titik aktual berupa bentuk yang kekal. Tidak ada bentuk yang belum teraktual. Sebagaimana tidak ada materi yang tidak berpotensi. Potensi menuju aktual seperti materi menuju bentuk. Penggerak Pertama tidak boleh bergerak. Karena jika Penggerak Pertama bergerak, maka ia adalah potensi yang tentunya materi. Penggerak Pertama yang tidak digerakkan dan tidak bergerak inilah yang disebut sebagai Tuhan.
Argumen ontologis dan kosmologis dikritisi oleh Immanuel Kant karena dipandangnya merupakan argumen yang lemah. Kant kemudian mempertanyakan mengapa Wajib Ada memberikan keberadaan pada yang Mungkin Ada. Dengan kata lain, mengapa Tuhan menciptakan makhluk? Jika kita menjawab pertanyaan Kant, maka Tuhan menjadi memiliki tujuan dalam menciptakan makhluk. Sementara jika Tuhan memiliki tujuan, berarti ada yang belum dimiliki oleh Tuhan dan otomatis Tuhan menjadi tidak sempurna. Tentulah, Tuhan tidak dapat disebut Tuhan jika Ia tidak sempurna. Jawabannya adalah makhluk diciptakan oleh Tuhan demi eksistensi makluk, bukan Tuhan. Tanpa makhluk, Tuhan tetap eksis. Makhluk dicipta karena Tuhan Maha Baik dan Maha Pemberi. Si kaya tetap kaya walaupun ia tidak memberi hartanya pada fakir. Tapi si kaya semakin dikenal lagi dengan sebutan penderma jika ia mendermakan atau memberikan sebagian hartanya. Jadi, penciptaan makhluk demi penyempurnaan makhluk itu sendiri (Mutadha Muthahhari, Mengapa Kita Diciptakan; hal 43).
3)Argumen Moral
Dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant menyatakan bahwa sejak lahir manusia dibekali oleh perangkat bawaan yang bernama moral untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Perintah moral mengharuskan manusia melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Melakukan yang baik tinggalkan yang buruk merupakan perintah moral bukanlah perintah agama. Manusia melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk bukan untuk mendapatkan hadiah dan menghindari hukuman. Karena hadiah dan hukuman sangatlah bersifat materi, sementara yang bersifat materi membutuhkan pengalaman inderawi. Buktinya, terkadang manusia melakukan yang baik tetapi diperlakukan buruk oleh orang lain. Terkadang pula manusia melakukan yang buruk tetapi tidak diganjar oleh hukuman yang setimpal.
Pernyataan pertama bahwa perintah moral tidak berkaitan dengan pengalaman inderawi ataupun agama. Pernyataan kedua adalah jika dunia materi bukanlah tempat menguji obyektivitas perintah moral maka harus ada dunia lain sebagai tempat menguji obyektivitas perintah moral tersebut. Karena dunia ini sangatlah bersifat materi yang khas harus diukur pengalaman inderawi. Moral yang nonmateri tersebut tentu tidak mendapatkan validitasnya di dunia materi ini. Harus ada dunia lain sebagai tempat menguji obyektivitas dan validitas perintah moral. Dimana tempat tersebut merupakan tempat pemberian hadiah bagi yang melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan serta pemberian hukuman bagian menjahui kebaikan dan melakukan keburukan. Dan tempat atau dunia tersebut haruslah memberikan hadiah atau hukuman yang adil, tidak seperti di dunia materi. Maka lahir pernyataan ketiga, bahwa harus ada yang menilai validitas moral tersebut. Dimana penilaiannya adalah penilaian yang paling benar dan paling adil. Sang Penilai tersebut dinamakan Tuhan. (Amsal Bahtiar, Filsafat Agama; 193)
Berlaku Adil dalam Berpengetahuan
Argumen Ontologis, Kosmologis dan Moral di atas merupakan jawaban yang segar bagi akal dan hati manusia di tengah keringnya pertanyaan filsafat mengenai eksistensi Tuhan. Perlu diperhatikan, bahwa jawaban dari teks kitab suci dari kaum agamawan bukan berarti tidak obyektif. Hanya saja, kita perlu berlaku adil dalam berpengetahuan. Baik bagi subyek pengetahuan (manusia), maupun obyek pengetahuan (pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan). Pertama, dengan menjawab pertanyaan si atheis berdasarkan akal sehat yang dapat diterima secara universal, obyektif dan mutlak oleh seluruh manusia. Karena seluruh manusia berakal, termasuk si atheist ado. Kedua, dengan menjawab pertanyaan sesuai dengan kategori pertanyaan. Pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan adalah kategori pertanyaan filsafat, maka harus dijawab dengan jawaban khas filsafat pula. Izinkan saya menutupnya dengan kutipan dari Dostoyevski dalam buku Revolusi Harapannya Erich Fromm; Jika Tuhan tidak ada, maka segalanya menjadi tidak mungkin.
Selamat menyadari eksistensi Tuhan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI