PERTAMA, karena mereka kita prioritaskan, tetapi membalas dan hanya menjadikan kita pilihan, maka kita harus tegas dan jujur, lalu bersikap. Apakah persaudaraan, pertemanan, kekeluargaan, hubungan (hati, pekerjaan, dll) akan dilanjutkan, menjadi hubungan biasa saja, atau diakhiri.
KEDUA, tetap percaya diri bahwa kalau kita tetap memiliki harga (berharga) dengan apa yang kita lakukan dan perbuat karena demi orang lain hingga demi kemaslahatan. Saat ada yang menjadikan kita pilihan, maka di saat yang sama, tentu dengan melihat fakta kebaikan, akan datang orang lain yang menjadikan kita prioritas.
Agar tidak mengurangi nilai diri, tetap ada harga, kita juga tetap melakukan refleksi dan instrospeksi, karena ada yang menjadikan kita hanya pilihan. Sebab, biasanya yang menjadikan kita pilihan, walau sudah kita prioritaskan adalah orang-orang yang patut kita kasihani karena tak cerdas intelegensi dan personality tak tahu diri dan tak tahu membalas budi.
KETIGA, bila kita tahu siapa orang yang sudah kita prioritaskan namun mereka menjadikan kita hanya pilihan, maka jangan dimasukkan ke hati. Sebab, mereka bisa jadi memang belum pernah belajar dan belum punya pengalaman dalam kehidupan yang saling membutuhkan dan dibutuhkan, saling mengisi dan melengkapi.
Orang-orang golongan ini mungkin masuk kategori "Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu." Jadi, perlu pendidikan, bimbingan, dan pembinaan lagi.
KEEMPAT, memahami dan mengambil sikap tegas atas orang-orang yang menjadikan kita pilihan. Kemudian tetap fokus dan konsisten dalam langkah kita, terus kembangkan kreativitas dan inovasi demi kebaikan dan kemaslahatan langkah kita.
KELIMA, terus perluas jaringan. Pertemanan, kekeluargaan, persaudaraan, Â kolega, dan lain-lain yang saling memprioritaskan.
Akibat dari kondisi ini, maka masyarakat bangsa kita, masih terus bergulat sekadar menjadi bangsa pemakai produk asing, karya orang lain. Menjadi bangsa penjiplak karena lemah imajinasi, kreativitas, dan jauh dari budaya inovatif. Maunya dikasih tapi tidak mau timbal balik. Maunya untung dengan modal dan kompetensi rendah.
Rendah budaya peduli, simpati, empati, tahu diri, dan tahu membalas budi. Tetapi dekat dengan tinggi hati, mementingkan diri sendiri. Tidak tahu etika, tidak tahu malu, tidak tahu diuntung, tidak tahu berterima kasih, dll.
Malah, karena kendala hati dan pikirannya yang lemah dan tak cerdas, sampai ada yang menelikung dan menusuk dari depan, samping, belakang, dan dari dalam, demi kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, dan golongannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H