Bila memimpin diri sendiri tidak bisa, bagaimana memimpin orang lain? (Supartono JW.18042022)
Catatan saya, sejak Ramadhan 2014 hingga sekarang, Ramadhan 2022 (1443 Hijriah), di Indonesia, bicara masalah pemimpin dan kepemimpinan rasanya masih terus dalam kadar memprihatinkan.Â
Mulai dari pemimpin daerah hingga pemimpin negeri, tak terkecuali, banyak hal yang masih belum layak diteladani oleh masyarakat. Terlebih, sejak itu hingga detik ini, negeri dalam situasi tak lagi nyaman akibat perseteruan kubu politik yang berbeda.
Mirisnya, sampai detik ini, pemimpin negeri ini terkesan membiarkan kondisi perseteruan yang tak berujung. Semakin hari terus saja ada masalah yang timbul dan ditimbulkan. Tetapi, malah asyik dengan ambisi-ambisnya, dan rakyat terus yang ditekan.
Selain itu, kasus-kasus menyoal kepemimpinan dan  pemimpinnya sendiri, tak sulit ditebak, berputar-putar pada masalah yang sama, sebab siapa pun yang berlomba menjadi pemimpin atau dijagokan menjadi pemimpin oleh kelompok dan partainya, tujuannya sudah tak murni untuk memimpin dan amanah untuk rakyat , tetapi sudah ditempeli kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi.
Selain itu, untuk.mendapatkan kursi menjadi pemimpin, modalnya mahal. Maka, hampir seluruh pemimpin dari tingkat daerah hingga pemimpin negeri ini ada yang memodali. Dengan begitu, siapa pun yang akhirnya jadi pemimpin, baik dengan cara jujur atau curang, sudah tak dapat lagi membawa diri, sebagai pemimpin sejati. Sudah terjerat oleh lingkaran masalah yang mereka cipta sendiri.
Saya yakin, semua pemimpin di negeri ini, awalnya ingin amanah memimpin sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya, amanah kepada rakyat, tetapi ketika sudah terjebak pada kepentingan-kepentingan, siapa yang memodali, di situlah para pemimpin terpilih mulai tak berjalan di relnya karena wajib ada timbal balik, hutang, dll.
Faktanya, berapa banyak pemimpin yang akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Lalu, siapa pula yang berkolaborasi melemahkan KPK? Ya, para pemimpin itu sendiri.
Andai saja para pemimpin di Indonesia benar-benar menyadari hakikat memimpin dan menjadi pemimpin. Yakin, Â minimal sekarang negeri ini rakyatnya damai dan hidup rukun.Â
Sayang, para pemimpin itu gagal memimpin dan menjadi pemimpin, karena terjerat oleh kontraknya dengan pihak yang mengusung dan memodali, sehingga lupa akan tugas dan tanggungjawab yang seharusnya dilakukan. Malah, banyak yang potong kompas dalam rangka mengembalikan modal dan setoran, sehingga terpaksa menjadi koruptor. Akhirnya, pemimpin di +62 (pemerintahan dan parlemen) sangat identik dengan korupsi.
Menjadi pemimpin diri sendiri