Bila dihitung sejak Indonesia merdeka, maka tahun 2021 ini, akan memasuki tahun ke-76 tahun ajaran baru. Pertanyaannya, terkait dunia pendidikan, apa yang sudah ditanam dan dipetik Indonesia di sektor pondasi kemajuan bangsa ini? Berapa presentase keberhasilan Sumber Daya Manusia (SDM) kita, yang lahir dari dunia pendidikan di dalam negeri di bandingkan presentase jumlah penduduk Indonesia? Menanam maka memetik. Tapi apa yang mau dipetik bila cara menanamnya saja masih dipertanyakan.Â
Sudah cara menanamnya dipertanyakan, proses bertumbuhnya pun belum mampu merawat dengan benar. Itulah sengkarut dunia pendidikan kita yang terus berputar-putar dalam benang kusut.
Sebab, yang diberi tanggungjawab menanam dan merawat, masih belum memiliki kemampuan yang diharapkan! Itulah dunia pendidikan Indonesia yang terus tak mampu menyentuh akar masalah.
Sulit menghasilkan manusia berkarakter berbudi karena terus bermasalah di tingkat pembuat kebijakannya (legislator), ditambah runyam pada sektor ujung tombak pelaksana kebijakan, yaitu sekolah dengan perangkatnya sebagai operator.
Akibatnya pendidikan terus terpuruk, ibarat menanam padi, yang dipanen pun hanya hama, masalah dan masalah.
Mindset murid menyedihkan
Dalam kesempatan ini, saya tak ingin mengungkit benang kusut pendidikan Indonesia yang sudah sering saya tulis itu, namun menurut hemat saya, bila diidentifikasi permasalahnya, tak nampak ada perubahan dan perbaikan yang signifikan hingga sekarang.
Untuk kali ini, saya ingin menyoroti masalah yang lebih gawat, yaitu masalah mindset murid Indonesia. Ternyata ada sebanyak dua pertiga atau sekitar 66 persen murid Indonesia, memiliki fixed mindset, yaitu menganggap bahwa kecerdasannya tak bisa diubah.
Kendati data tersebut dipaparkan oleh PISA, Program Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk Penilaian Pelajar Internasional (PPI) pada tahun 2018, namun hingga kini tak nampak ada penanganan serius di Indonesia menyoal murid-murid yang lebih dari 66 persen fixed mindset.
Perlu diketahui, selama ini saya sudah mengulas hasil survei PISA, murid di Indonesia terus terpuruk dalam hal membaca (literasi), matematika, dan sains.
PISA mengukur kemampuan murid usia 15 tahun untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan membaca, matematika dan sains mereka untuk memenuhi tantangan kehidupan nyata.