Hari Kamis, (29/10/2020) tepat di hari Libur Nasional, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada sebuah judul berita di media massa online dengan diksi "bermuka dua". Ternyata judul itu memberitakan tentang kegemasan pemimpin tertinggi partai politik di Indonesia karena kadernya banyak yang "bermuka dua", bahkan berkaki dua.
Sejatinya, persoalan ungkapan bermuka dua, berkaki dua yang tidak berbeda dengan ungkapan "bertopeng" atau "berpura-pura" karena tidak menjadi dirinya sendiri ini, bukanlah fenomena baru. Namun, hal ini justru sudah menjadi tabiat manusia yang karakternya tak berbudi pekerti luhur, karena terus diwarisi oleh generasi pendahulunya.
Biasanya, manusia atau orang yang berperilaku bermuka dua, berkaki dua, bertopeng, berpura-pura adalah mereka yang tidak dapat memerankan menjadi dirinya sendiri karena berbagai latar belakang dan tujuan, serta hati dan pikirannya dipenuhi oleh ambisi.Â
Mereka orang-orang cerdas intelegensi dan emosi, tapi berakal licik yang bila dianalogikan dengan ungkapan, bila rakyat biasa untuk makan saja susah hingga pertanyaannya menjadi "Hari ini bisa makan atau tidak?" Berbeda dengan kelompok ini yang pertanyaannya "Hari ini makan siapa?"
Bahkan kini selain perilaku ini sangat lekat pada individu elite partai politik, perilaku bermuka dua ini pun sudah mulai membudaya pada masyarakat sejak gelaran Pilkada DKI dan Pilpres yang tentu dapat ditebak zaman siapa.
Namun, yang kini sangat mencolok adalah sikap masyarakat yang tidak lagi menjadi dirinya sendiri dan terbelah dan terus berseteru karena peristiwa politik dan beda junjungan.
Di luar urusan politik, orang-orang macam ini juga "berceceran" karena mereka hanya mengejar gengsi, kemewahan hidup, dan gaya hidup yang tak mau kalah dengan orang lain.
Sejatinya, ketika kita bertanya pada diri sendiri, bagaimana rasanya ketika saya harus berpura-pura menjadi orang lain? Bukan menjadi diri sendiri. Lalu, memerankan tokoh dalam kehidupan nyata menjadi bermuka dua, berkaki dua, dan berpura-pura karena ada latar belakang dan tujuan yang dasarnya tidak sesuai dengan pikiran dan hati nurani saya dan bertopeng.
Dari pikiran dan hati saya terdalam, sebab saya sering memerankan tokoh lain dalam pentas drama panggung, bukan drama dalam kehidupan nyata, saya merasakan aneh, tidak santai, terlebih wajib bertanggungjawab atas kualitas peranan saya sesuai karakter tokoh seperti aslinya.
Pertanyaannya, kira-kira bagaimana dengan orang-orang yang dalam kehidupan nyata harus memerankan diri sebagai orang yang bertopeng, bermuka dua, berkaki dua, dan hidupnya penuh kepura-puraan yang lebih dari sandiwara di atas panggung drama?
Apakah sepanjang hidupnya orang-orang semacam ini akan tenang, nyaman?Terlebih harus selalu tampil dalam kepura-puraan, kebohongan, dan kepalsuan, terlebih selalu dikejar-kejar ketakuatan di balik topeng dan kepura-puraannya karena tidak mau orang lain tahu. Apalagi bila orang ini sudah masuk kategori penjilat dan hukum selalu menantinya?