Tanggal 2 Oktober 2020 adalah Hari Batik Nasional (HBN) dan di tahun ini adalah perayaan HBN ke sebelas sejak batik ditetapkan sebagai daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO atau Warisan Budaya Takbenda (WBTb) pada sidang UNESCO di Abu Dabhi, 2 Oktober 2009.
Sejatinya batik telah ada di Indonesia dari zaman kerajaan, namun butuh waktu dan proses hingga pada akhirnya, batik menjadi milik Indonesia dan diakui dunia karena banyak negara yang terus mencoba mengulik batik sebagai warisan budaya mereka.
Sebelum ditetapkan, Indonesia mengajukan ke UNESCO pada September 2008, dan pada Januari 2009, UNESCO menerima pendaftaran tersebut secara resmi dan dilakukan pengujian tertutup di Paris pada bulan Mei 2009. Akhirnya dari lima domain penilaian, batik memenuhi tiga domain, yaitu tradisi dan ekspresi lisan, kebiasaan sosial dan adat istiadat masyarakat ritus, perayaan-perayaan serta kemahiran kerajinan tradisional.
Kini, batik sudah 11 tahun resmi menjadi milik Indonesia dan dunia mengakui. Bagaimana sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia akan keberadaan batik Indonesia yang sudah diakui dunia?
Apakah dalam setiap perayaan Hari Batik, hanya akan selalu diisi acara seremonial dan sekadar saling mengucapkan "Selamat Hari Batik" lalu sekadar mengenakan batik di berbagai kalangan, instansi dan institusi pemerintah? Tanpa memahami lebih dalam sejarah batik, jenis batik, hingga kita semua semakin mencintai batik di negeri sendiri? Bagaimana dengan rakyat biasa yang tak terakomodir dalam ranah instansi dan institusi pemerintah? Akankah turut merayakan Hari Batik dan turut mengenakan batik? Terlebih di tengah pandemi corona?
Warga mancanegara sangat cinta batik
Pada tahun 1987 hingga 1990an, saya sempat jualan batik di sela-sela kuliah. Tentunya hal ini bukan iseng atau kebetulan, tetapi memang momentum yang sangat pas.
Sebagai mahasiswa perantau di Jakarta, agar tak merepotkan orang tua di kampung, berbagai usaha yang mendatangkan uang sambil kuliah saya jalankan, di antaranya jualan kain batik tradisional, karena saya juga terlahir dari keluarga "garmen".
Karenanya sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan lingkungan yang akrab dengan jahit-menjahit dan akrab dengan dunia garmen. Sementara di kampung sebelah, saya juga mempunyai saudara yang terjun langsung dalam dunia batik-membatik. Bahkan di kampung sebelah, selain saudara saya, warga di kampung tersebut juga rata-rata bekerja menjadi pembatik tradisional rumahan, dan mengerjakan satu kain batik bisa berminggu-minggu karena rumit. Setelah jadi, harga batik pun dijual cukup mahal.
Saat perantauan saya dimulai, tanpa disadari, ternyata dalam kelas kuliah itu, ada beberapa mahasiswa dari mancanegara. Suatu hari teman dari mancanegara yang dapat beasiswa dan kuliah bareng  itu meminta saya menemani mereka untuk membeli batik ke suatu mal di Jakarta. Saat saya tanya, mengapa mau membeli batik, jawabnya mereka suka sekali batik dari Indonesia. Dalam benak mereka, ingat Indonesia ya ingat batik.
Dan, ternyata mereka sangat menyukai batik jenis tradisional. Meski harganya mahal, teman-teman dari mancanegara itu tetap saja membeli batik tradisional.Â