Dejavu dan Rp. 35.000
Saat yang lalu, ditengah kehebohan komentar aneh ketua DPR dan Wakil Presiden Indonesia tentang bencana tsunami di Mentawai dan meletusnya gunung merapi di Jogja, saya mengalami dejavu tentang hal yang sungguh tidak penting. Anehnya, setelah mengalami dejavu tersebut selanjutnya saya mengalami kejadian kehilangan duit. Bisa jadi karena keteledoran saya yang tidak biasanya atau mungkin juga sebagai “biaya” atas kejadian dejavu itu sendiri. Yang terakhir itu kemungkinan dengan menggunakan hipotesa gagal yang saya buat atas keterkaitan dari kedua peristiwa tersebut.
Dejavu adalah sebuah pengalaman atau kejadian yang terjadi namun terasa seperti pengulangan pengalaman atau kejadian yang sebelumnya pernah dirasakan. Dejavu berasal dari frasa francis yang arti secara harfianya pernah melihat. Fenomena ini biasa juga dsebut paramnesia atau promnesia. Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “para” yang berarti sejajar dan “mnimi” yang berarti ingatan. Istilah dejavu sendiri pertama kali dipopulerkan oleh emile boirac (1851-1917) seorang ilmuwan perancis dalam bukunya “L’Avenir des sciences Psychiques”. Menurut ilmu kejiwaan, dejavu adalah pengaruh subjektif mengenai anggapan adanya kesamaan pengalaman saat ini dengan masa lalu yang sulit di jelaskan. Seorang profesor psikologi mendefinisikan dejavu sebagai perasaan yang begitu kuat mengenai adanya kesamaan global yang terjadi pada situasi baru. Kesamaan pengalaman dalam dejavu bersifat keseluruhan, hingga setiap detail terkecil mirip dengan yang pernah dialami seseorang dimasa lampau (disadur dari berbagai sumber).
Namun fakta yang ada bahwa tak satupun kejadian di dunia ini benar-benar sama, pasti ada perbedaan meskipun itu sangat kecil.
Hari itu saya mengalami kejadian yang seakan pernah terjadi sebelumnya namun anehnya saya bisa menebak sedikit, mungkin tepatnya meramalkan kejadian beberapa langkah di depan sebuah peristiwa yang akan saya alami, meskipun hanya beberapa detik. Saya langsung bisa mengetahui maksud dan percakapan singkat saya dengan seseorang ketika kejadian dejavu itu sedang berlangsung, bahkan hingga detail kata per kata yang akan saya ucapkan dan juga gambaran potongan kejadian yang akan terjadi. Sepertinya saat itu saya mendapatkan sedikit “kemampuan” sang maha pencipta sehingga dapat mengetahui apa yang akan terjadi, meskipun hanya untuk potongan bagian dalam peristiwa yang saya alami. Saya juga tidak dapat protes dan merubahnya, hanya dapat membiarkan rentetan peristiwa itu berjalan dengan sendirinya. Terpaku dan hanya dalam kepala serta fikiran saya yang berkecamuk.
Yang pasti setelah mengalami pengalaman tersebut, saya coba berfikir, menganalisa dan mengingat-ngingat kembali. Tak berapa lama kemudian saya kehilangan duit, jika di rupiahkan sebesar tiga puluh lima ribu. Memang nilainya kecil tak seberapa, tapi jika dikaitkan dalam sebuah alur peristiwa yang saya alami mungkin bisa berkembang menjadi hal yang penting.
Saya mengingat dengan pasti dimana saya menyimpan duit tersebut sebaik-baiknya, dalam saku kiri celana jeans yang sementara saya pakai. Namun seperti saya bilang tadi, bisa jadi keteledoran saya sendiri sehingga duit itu hilang, mungkin terjatuh di jalan ketika saya tidak sengaja merogoh saku, atau, karena hanya terselip di bagian tepi dalam jepitan saku celana jeans saya ketika saya memasukkannya, sehingga terkena senggolan sedikit saja oleh tubuh atau adanya gerakan yang berlebihan yang membuat duit tersebut jatuh. Atau mungkin saja saya pernah secara sengaja menggunakan duit itu, untuk berbelanja atau membayar keperluan lain namun saya tidak dapat mengingatnya dengan pasti dan melupakannya.
Kemungkinan yang terakhir jika dikaitkan dengan dejavu membuat saya berhipotesa bahwa ada sepenggal kejadian yang saya lupakan dalam rentetan perstiwa hilangnya duit ku, dan hal ini menjadi semacam pertukaran atas pemberian “sedikit” berkah dari sang pencipta dalam hal kemampuan mengetahui apa yang akan terjadi, dengan rentetan peristiwa yang terlupakan dalam keseluruhan alur peristiwa hilangnya duit milikku. Sehingga keseimbangan antara satu peristiwa dan peristiwa lainnya di dunia dapat tercipta. Namun hipotesa itu gagal dengan sendirinya karena saya yang buat tanpa adanya rasionalisasi dan pembuktian empiris. Sementara itu, kejadian “lupa” lebih tinggi frekuensi terjadinya pada diriku dibandingkan kejadian “dejavu” itu sendiri.
Kesimpulan yang saya buat tentang peristiwa dejavu dan kehilangan duit ini hanya sebagai catatan kecil saya. Sungguh bukan suatu hal yang penting. Hanya berusaha untuk belajar menulis.
Anambas, 29 Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H