Mohon tunggu...
Tonny Trimarsanto
Tonny Trimarsanto Mohon Tunggu... -

saya http://trimarsantofilms.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelajaran Merokok ala Bruce Willis

6 Februari 2012   12:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328530915157586211

Seorang John Smith ( Bruce Willis ) mengisap rokok dalam dalam. Rokok itu dihisapnya, dinikmati dan asapnya dibuang perlahan. Itulah tindakan yang dilakukan oleh John Smith setiap kali berhasil membunuh lawan lawannya, dengan senjata di tangan. Film The Last Man Standing (1996), sebuah film aksi yang diperani oleh Bruce Willis. Dan setiap adegan yang menegangkankan, senantiasa diakhiri dengan hisapan rokok. Wah menakjubkan. Rokok yang terus ditolak dan kampanye anti rokok terus mendunia, namun produk produk budaya pop justru makin mengepung dengan adegan menghisap rokok. Namun, apakah gagasan anti rokok  menjadi aktual ? Bahaya rokok tidak saja, memprihatinkan di Indonesia. Masyarakat dunia sekalipun, juga dibuat cemas oleh akibat yang dimunculkan oleh konsumsi rokok yang berlebihan. Tetapi, bukankah akan menjadi lebih efektif manakala justru gerakan anti rokok bisa dibangun dari ruang sosial yang lebih kecil keluarga ?  Lantas, apa jadinya jika di ruang keluarga justru masih saja ditemukan punting rokok yang berserakan ? Sementara dalam rumah itu tak ada perokok ? *** Pemerintah, memproyeksikan, bahwa angka produksi rokok akan meningkat. Jika tahun ini berhasil diproduksi sebanyak 253 milyar batang. Maka tahun 2012 proyeksinya menjadi 266 milyar batang. Jumlah yang terus menerus bertambah, tentunya. Sebuah keberhasilan pemerintah dalam dunia usaha produksi ( baca : industri ) rokok. Sementara sebuah mimpi buruk yang menampar, bagi siapapun yang berupaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya rokok. Nampaknya, sebuah paradoks yang tak terjawab. Disatu sisi gerakan emansipatoris bergulir, akan terlibas oleh logika modal, atas nama nilai nilai ekonomi bagi siapapun yang terseret dalam jaringan bisnis rokok. Mulai dari pabrik yang memproduksi, suara buruh rokok dan ritel distribusi yang meneguk untung di dalamnya. Lebih parah lagi, ternyata pemerintah cukup nyaman dengan masukan sukai rokok sebesar Rp. 62,7 trilyun ke kas Negara. Bukankah angka dan argumen ini cukup kuat untuk merobohkan gerakan anti rokok ? Singkat kata, pemerintah memang tak akan melepaskan kebijakan untuk menekan industri rokok. Kalaupun ingin mendukung gerakan anti rokok, itupun akan setengah hati. Artinya, rokok memang tak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat kita. Sejak dari klobot hingga terkemas dengan filter pengamannya. Masuknya perusahaan rokok multinasional, yang mengakuisisi perusahaan rokok local menjadi bukti kongkretnya. Bukti bahwa pangsa pasar perokok di tanah air begitu besar dan menggiurkan. Dan pasar rokok Indonesia, berada di peringkat ketiga setelah China dan India. Bukankah presatasi yang menggembirakan, nampaknya. Pada sisi lain, masyarakat terus menerus dikepung oleh tampilan iklan rokok dalam seribusatu wajah . Sepanjang jalan kita disuguhkan oleh baliho besar menawan tentang : bagaimana seorang perokok itu sangat heroik, perokok itu identik dengan kemapanan selera, jiwa petualangan, jantan dan yang lain. Kepungan di ruang publik, bukan hanya dalam bentuk baliho semata. Kita lihat, setiap akhir pekan, hamper di semua alun alun kota di kabupaten Jawa Tengah, sering menggelar pentas musik, dengan sponsor perusahaan rokok. Serbuan gencar dan membumi juga tak terhindarkan. Hadirnya iklan rokok di ruang kelurga lewat iklan iklan rokok di televise, jumlahnya semakin padat . Ketika ada perdebatan bahwa iklan rokok bolehnya selepas jam 21.00 WIB, maka kondisi ini tak bisa dihindarkan. Iklan rokok ditelevisi memang kian dibatasi. Setelah sebelumnya, ada peraturan bahwa tidak boleh ada adegan menghisap rokok dalam iklannya, tetap saja para creative marketing semakin cerdas membangun brand rokok dalam masyarakat. Faktanya, pembatasan jam tayang iklan rokok, dan penghilangan adegan tidak disikapi sebagai sebuah krisis oleh para creator media. Sebaliknya, strategi hard sell yang diganti dengan soft sell, justru membuka peluang kreatif yang  menakjubkan. Alhasil, para perokok itu identik dengan kebebasan, keterbukaan, cara pikir demokratis, penunjukan kelas, keberanian, kejantanan dan yang lain. Sebuah studi mengungkapkan bahwa, remaja remaja yang akhirnya menjadi perokok memang dipengaruhi oleh iklan televisi. Iklan televisi jauh lebih efektif untuk melahirkan citra diri dari perokok itu sendiri. Lewat televisi, marketing rokok telah dating ke ruang keluarga rumah kita. Kehadirannya memang tak diundang. Namun eksistensinya menciptakan ruang persuasif yang menganggu. Iklan rokok di televisi tak ambil peduli, bahwa dalam keluarga itu ada perokok-nya ataukah tidak. Yang pasti mereka terus menerus menawarkan diri. *** Sebuah ironi besar bahwa rokok menjadi ancaman yang menakutkan. Menakutkan bukan saja untuk masyarakat. Terlebih untuk keberlangsungan generasi muda mendatang. Sebuah kebijakan besar tentu harus dilakukan untuk dapat mengatasi persoalan ini. Pada saat ini, puntung rokok sudah masuk ke ruang keluarga. Lantas bagaimana bisa mereduksi bertambahnya perokok ?  Dan actor Hollywood telah mengajari kita cara merokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun