Suatu pagi. Saya dikejutkan oleh suara telpon yang berdering. Kriiiing…… . Telepon-pun saya angkat. Suara yang sangat akrab terdengar dalam telinga saya.
Hola Tonny ?
Ah suara sahabat saya Pep, ternyata. Tepatnya Pep Guardiola. Tentu, saya dan kita mengenalnya. Siapa Pep yang saya maksudkan ini.
Hola Pep ! Jawabku. Sekian lama suara ini menghilang. Dan tidak biasanya.
Saya mau bercerita kepadamu. Kali ini suaranya agak menurun. Tidak seperti biasanya yang selalu berapi api, optimis namun disampaikan dalam gaya bicara yang tenang.
Ya aku tahu ! Jawabku.
Ya. Soal kekalahan dari Osasuna kemarin. Itu sangat meyakitkan.Tentu kamu menontonnya juga.
Ya. Ya.. ! Jawabku Aku sengaja untuk terus memancingnya bercerita. Melampiaskan semua kegelisahannya.
Kekalahan itu membuat kami semakin jauh mengejar campeon. Semakin berat untuk mengangkat granador del Trofeo. Perebutan ke jalur juara semakin menyempit. Kini Real Madrid berada di jalur terdepan. Kami menjadi tidak berdaya. Nadanya makin menurun penuh kepasrahan.
Lho kenapa Pep ? Tanyaku.
Mereka memainkan sepakbola sesungguhnya. Sepakbola yang tidak saja mengandalkan nama nama besar dan idola, juga langganan bola emas , alias Ballon d'Or. Mereka tidak punya pemain bintang bergaji selangit. Cukup dengan semangat. Ya kami dihancurkan oleh semangat. Semangat tim, semangat perlawanan. Melawan dengan kekerasan. Sebanyak 23 kekerasan pelanggaran kami rasakan.Ya kami dikalahkan oleh semangat dan kekerasan.Itulah penaklukan. Tegasnya.
Lho Pep, bukankah nenek moyangmu, Pak Colombus mengajari dunia, tentang keberhasilan penaklukan dengan kekerasan ? Tanyaku.
Benar, memang Pak Colombus telah mengajari penaklukan dengan kekerasan. Tidak saja, ketika menemukan benua Amerika. Penghabisan etnis, masyarakat lokal di Pasifik dan Amerika Latin itu sudah dilakukan. Tetapi itu sejarah yang memalukan. Kami malu bahwa setiap penakukan harus dilakukan dengan kekerasan. Jawabnya diplomatis.
Tetapi bukankah itu sebuah hasil yang menggembirakan ?
Iya. Setiap tim memang ingin mengalahkan Barcelona. Mereka sudah bisa menghancurkan tradisi total foetball yang pernah dibangun oleh Hendrik Johannes Cruijff, yang kemudian diteruskan oleh Frank Rijkard di sini. Kini strategi tiki taka yang saya terapkan secara eksplosif di awal era saya, tak lagi meledak akhir akhir ini. Tiki Taka menjadi melempem Ton... . Â Tiki taka hancur oleh kekerasan yang menaklukan. Jawabnya berapi api.
Pep apakah Anda menjadi putus asa ? Tanyaku.
Kini, strategi tikitaka Barcelona sudah usang. Kuno. Mungkin tak lagi meyakinkan. Kalah oleh strategi kekerasan.
Lalu ?
Saya tengah menggodok strategi bola diplomasi. Ini gaya baru paska total footbal, kick and rush ataupun tiki taka. Strategi diplomasi ini, saya harapkan akan mengalahkan strategi kekerasan . Paparnya. Terimakasih ya mau mendengar keluh kesah saya. Kata Pep Guardiola menutup pembicaraan kami.
Telepon ditutup. Mashab kekerasan di sepakbola tak akan pernah berakhir. Setiap kekuasaan punya rejimnya sendiri. Punya gaya. Dan gaya itu erat kaitannya dengan penaklukan dan eksistensi. Saya jadi ingat pergantian rejim PSSI yang tak lepas dari kekerasan dan penaklukan. Tetapi itu erat dengan gaya dan upaya mendapatkan pengakuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H