Mohon tunggu...
Tonny Trimarsanto
Tonny Trimarsanto Mohon Tunggu... -

saya http://trimarsantofilms.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aduh, PNS Itu Ternyata Waria!

9 Februari 2012   00:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:53 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_161497" align="alignleft" width="300" caption="Film kelas Oscar yang menyentuh "][/caption] Fergus seorang tentara yang baik dan jujur. Seorang tentara gerilyawan IRA ( Irlandia Merdeka)  Fergus (Stephen Rea), menahan seorang tentara Inggris Jody (Forrest Whitaker). Fergus, mendapat  tugas, menjaga  Jody. Itulah malam terakhir Jody.  Tangan Jody terikat di kursi. Beruntung  mulutnya tak dibekap. Sehingga, ia cukup punya waktu bercakap dengan Fergus. Percakapan malam terakhir bagi Jody. Karena esok pagi, ia akan di hukum tembak oleh tentara IRA, termasuk Fergus. Jody terlibat percakapan intim. Lawan bicaranya adalah Fergus, calon eksekutor esok harinya. Percakapan detil, yang sangat menyentuh. Sebuah pesan terakhir Jody keluar dari mulutnya. Ia meminta Fergus untuk menengok dan menjaga pacar Jody  di London, bernama Dil ( Jaye Davidson).  Fergus menyatakan tak sanggup untuk bertemu  Dil. Lalu, pagi harinya Fergus melepas Jody . Sial tak dapat dihindari. Pelepasan itu diketahui tentara IRA yang lain. Dalam sebuah perburuan, Jody tertabrak truk. Fergus akhirnya, mau memenuhi permintaan Jody untuk bertemu dengan Dil. Pertemuan malu, malu. Dil  bekerja di sebuah salon. Parasnya cantik. Wajahnya, elok memukau. Fergus tertegun : luar biasa,  Dil. Kedekatan dan cinta yang tak dapat ditolak. Apalagi setelah Dil tahu bahwa Jody memang tewas. Dan kabar itu datang dari mulut Fergus. Dil jatuh hati pada Fergus. Begitupun, Fergus pada awalnya. Namun, Fergus menjadi ragu. Dil yang begitu mempesona kecantikannya, ternyata adalah seorang : pria ! Pria yang memilih untuk menjadi dan berpenampilan sebagai wanita.  Transeksual. Dil-pun menggugat  Fergus : kenapa kamu menolak ? Karena aku waria, transeksual ?  Gugatan Dil menjadi sebuah diskursus yang hingga detik ini tak pernah selesai, untuk dipercakapkan. Itulah penggalan kisah The Crying Game karya sutradara Neil Jordan . Film yang sangat mengagetkan. Ada begitu banyak adegan surprise scene  yang mengagetkan penonton. Sebuah film yang sangat artistik, sederhana dan menyentuh. [caption id="attachment_161498" align="alignleft" width="300" caption="Pertemuan Fergus dan Dil, canggung !"]

1328746729717212763
1328746729717212763
[/caption] Kenapa Fergus tak bisa mencintai Dil ? Apakah karena ia waria ? Apakah Fergus baru bisa mencintai seorang perempuan ?  Bagi saya ini sebuah kisah menarik. The Crying Game, telah menyadarkan saya pada realitas hidup kaum waria. Terutama di kota kota besar. Seperti Fergus, waria masih saja dianggap aneh. Ia mewakili masyarakat yang dianggap “menyimpang”. Apakah menjadi waria itu sebuah pilihan ? Banyak orang menyebut, bahwa waria adalah sosok wanita yang terjebak dalam tubuh pria. Benarkan demikian ? Lalu kenapa waria hanya berada di jalan, mengamen, dan melahirkan olok olok ? Bukankah ini menyakitkan ? Bukankah kita telah membidani sebuah konstruksi yang menisbikan potensi otentik mereka ? Kenapa waria hanya bekerja di salon kecantikan. Atau –maaf- menjual diri di ruang publik ? Apakah tak ada ruang kerja publik yang lebih layak bagi mereka ?  Jujur, wilayah ekonomi waria, sangat terbatas. Ia dibatasi oleh diskriminasi yang diciptakan sendiri oleh keluarga (mereka sendiri), masyarakat, Negara dan rejim kapital itu sendiri. Lalu, dimanakah wilayah ekonomi bagi waria ?  Ruang bagi daya daya untuk hidup. Sebab, siapapun tak bisa memilih takdir kelahirannya sejak ia dilahirkan. Waria, telah mengalami diskriminasi. Wilayah ekonomi mereka sangat terbatas ( baca: dibatasi oleh sistem). Alhasil, mereka tak bisa  bekerja di kantoran. Menjadi pegawai swasta, susah. Menjadi guru, apalagi. Seringkali dicibir. Dihinakan. Sementara, sistem telah mengerdilkan mereka. Sejak sekolah sekalipun, mereka tak bisa mencapai pendidikan yang tinggi. Lantaran : olokolok sosial. Lalu, akankah diskriminasi ini terus kita hidupkan demi kematian yang lain ? Sayapun berandai andai. Seandainya waria juga diberi peluang untuk menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS). Alangkah bijaknya bangsa ini. Tetapi, jika PNS itu ternyata waria !  Apakah olokolok semacam ini terus kita pelihara ?  Apakah kita masih layak untuk mengatakan : "Aduh PNS itu ternyata waria !!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun