Tidak banyak kota di Indonesia memiliki begitu banyak benteng seperti Ternate. Ini memang kota benteng! Bahkan ada yang menjulukinya "Kota Seribu Benteng". Dari benteng bekas Portugis, Spanyol hingga Belanda. Deretan benteng ini seakan menegaskan betapa pentingnya posisi Ternate dalam percaturan perdagangan cengkeh di masa lalu.Â
Benteng-benteng di Ternate bukan sekadar konstruksi beton peninggalan masa silam yang mati. Di balik tembok benteng yang telah berdiri selama ratusan tahun itu tersimpan sejuta bukti sejarah yang mendebarkan. Dari pembunuhan seorang Sultan sampai kisah perebutan jalur perdagangan antar bangsa kolonialis.
Sejarah mencatat, Ternate pernah menjadi magnet bagi bangsa penjajah di abad ke-16. Bersama Tidore, tetangga sekaligus rivalnya kala itu, kedua pulau yang dikuasai Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore itu pernah menjadi rebutan antar beberapa bangsa Eropa di masa itu.
Satu demi satu bangsa Eropa pun bersaing sengit demi menguasai wilayah ini. Pada abad ke-16, cengkeh memang hanya bisa ditemukan di Ternate, Tidore, Moti, Mare dan Makian.
Singkatnya, setelah lima abad berlalu, yang tersisa dari era kegemilangan itu pun hanyalah bekas benteng-benteng ini. Sebagian masih berdiri kokoh di tepi laut. Yang lainnya tetap gagah bertengger di atas bukit di lingkungan pemukiman padat. Dan selebihnya tinggal puing-puing yang teronggok sebagai saksi sejarah nan bisu.
Sebagai salah satu destinasi wisata ternama di wilayah Indonesia Timur, Ternate memang tidak hanya memiliki alam yang permai. Sebut misalnya, Danau Tolire Besar, Danau Ngade ataupun Hol Sulamadaha. Peninggalan sejarah di kota ini juga membuat bekas ibu kota Maluku Utara itu makin menarik dijelajahi.
Adalah bangsa Portugis yang pertama kali menjejakkan kaki di Ternate pada tahun 1512. Tidak menunggu lama, setelah sukses membujuk Sultan Ternate yang akhirnya mengizinkan Portugis membangun benteng sebagai pos perdagangan, Portugis pun mulai membangun beberapa buah benteng di atas pulau vulkanik ini.