Keprihatinan akan "food waste" atau limbah makanan kini memasuki babak baru di dunia penerbangan. Seperti kita ketahui isu tentang limbah makanan kini telah menjadi isu global. Kampanye untuk mengurangi pembuangan makanan yang tidak dihabiskan terus dilakukan.
Jika sebagian dari kita fokus pada sisa makanan yang sudah dipesan di restoran, hotel, dan-lain-lain, tapi tidak dihabiskan. Maka di level industri, "food waste" sejatinya bisa saja terjadi di tahapan lebih awal dari sistem "food supply chain" atau rantai pasok pangan. Mulai dari tahap produksi, proses, distribusi, hingga konsumsi.
Pembuangan makanan sisa memang telah lama menjadi masalah di dunia penerbangan. Dari beberapa sumber, diperkirakan sekitar 20% dari semua makanan yang disiapkan untuk konsumsi penumpang di dalam setiap penerbangan berakhir di tempat sampah.
Data lebih sahih datang dari sebuah riset yang dilakukan IATA (The International Air Transport Association). Hasilnya cukup mencengangkan. Pada tahun 2017 setidaknya terjadi pembuangan sisa makanan dari layanan dalam pesawat sekitar 1.14 juta tonase. Ini termasuk makanan yang masih baru, bukan yang sudah separuh dikonsumsi.
Bagaimana mencegahnya? Tidak mudah. Selain terkait jenis harga tiket dan pesawat yang digunakan, apakah "Full-Service Airlines" atau "Low-Cost Carrier", layanan makanan di dalam pesawat juga berhubungan erat dengan reputasi setiap maskapai. Singapore Airlines, sebagai contoh, sangat terkenal dengan berbagai layanan makan, minum dan hiburan berkelas selama penerbangan. Suatu kelas layanan yang sangat memanjakan penumpangnya.
Untuk rute penerbangan lebih jauh atau "long-haul flight", katakanlah rute Singapore -- London yang berdurasi hampir 15 jam, sudah pasti layanan makan dan minum makin lengkap. Singapore Airlines biasanya sangat terkenal dengan 'in-flight service'-nya atau layanan selama penerbangan.
Betapa tidak, babak pertama dimulai dengan makan malam yang cukup berat. Selanjutnya, sepanjang penerbangan berbagai jenis snack disediakan. Dan terakhir, makan pagi nan lengkap termasuk pilihan Nasi Lemak. Soal minuman? Sudah seperti bar berjalan saja. Berbagai jenis minuman tersedia sepanjang penerbangan. Bir, anggur, minuman ringan, teh dan kopi. Dan semuanya gratis alias sudah termasuk dalam harga tiket pesawat.
Pada ujungnya, semua sisa makanan dan yang belum disentuh, akan berakhir di "landfill sites"Â alias Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tidak hanya makanan sisa, tapi juga minuman yang sudah dibuka pun ikut dibuang. Maskapai ternama tentu saja tidak mungkin menyimpan minuman anggur yang sudah pernah dibuka botolnya, untuk disajikan ke penumpang lain di penerbangan berikutnya. Wine yang sudah dibuka hanya bertahan sekitar dua hari. Dan aromanya sudah pasti berubah dan tidak enak lagi.
Itulah sebabnya, Japan Airlines (JAL)Â pada akhirnya mengambil inisiatif yang termasuk sebuah langkah baru di dunia aviasi. Seperti dilansir situs "Onemileatatime" dan beberapa media belum lama ini, Japan Airlines (JAL) mulai menawarkan ke penumpang suatu opsi "No Meal" yang disebut "Ethical choice" atau Pilihan Etis. Opsi ini disarankan ke penumpang yang hendak melewatkan makan malam yang disajikan maskapai.
Sudah tentu tidak mudah melakukan edukasi pelanggan seperti ini. Bagi sebagian orang, toh makanan yang tidak disantap pun sudah termasuk dalam komponen harga tiket. Karena itulah, selain menghimbau penumpang untuk memilih "No Meal" sebelum berangkat (jika memang tidak berencana makan), JAL juga mengumumkan di laman situsnya bahwa maskapai tersebut ikut mempromosikan pengurangan limbah makanan sisa.
"Before departure, visit JAL website and select 'No Meal'. Please use this service if you would like to take a good rest on the plane or if you would like to help us reduce food waste. JAL is also promoting the reduction of food waste."
Tujuannya jelas, untuk menggugah kesadaran calon penumpang untuk ikut mengurangi limbah makanan sisa. Dan tentunya sekaligus bisa merencanakan pasok makanan sesuai kebutuhan saja. Dengan informasi yang lebih lengkap, termasuk yang tidak akan makan, pihak catering JAL pun akan lebih mudah mengatur penyediaan makanan selama penerbangan secara lebih akurat.Â
 Apakah promosi semacam ini salah? Tidak juga. Bagaimanapun, maskapai dunia sudah saatnya mulai memikirkan mengurangi limbah makanan sisa dari setiap penerbangan. Sebagian masalah ini bisa diatasi, andaikata penumpang mau memberitahukan lebih awal ke maskapai penerbangan.
Bayangkan saja, dari setiap penerbangan, hanya sebagian stok makanan yang telah disiapkan bisa dikumpulkan dan disalurkan kembali ke sistem supply chain masing-masing maskapai. Di antaranya, gula sachet, snacks (keripik kentang, biskuit, dan lain-lain), minuman alkohol dan minuman ringan yang belum dibuka.
Inipun bukan hal yang mudah. Memisahkan makanan sisa yang masih bisa digunakan dan yang harus dibuang membutuhkan proses tenaga kerja lagi. Dan mungkin saja, yang dibuang pun tetap akan lebih banyak.
Kini JAL memberikan kesempatan ke calon penumpang nya untuk memilih "Pilihan Etis". Boleh jadi, dampak awal tidak terlalu signifikan. Namun, bukankah setiap langkah besar selalu diawali oleh satu langkah kecil.
Kelapa Gading, 18 Desember 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H